*tentang mimpi dan harapan
Anakku sayang,
Kelak, jika kau telah belajar untuk membaca dan mengetahui apa yang telah kutulis ini, mungkin ayah sedang berada jauh di tempat yang tak pernah kaubayangkan sebelumnya. Menjalani kehidupan dengan momok bernama “mutasi” keliling Indonesia sebagai PNS, pada sebuah kementerian di negeri kita. Ini sungguh bukan mimpi ayah waktu kecil dulu. Namun harus ayah jalani agar bisa mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membayar cicilan rumah, makanan sehari-hari kita, juga biaya sekolahmu yang kian naik tiap harinya.
Perlu kuceritakan sedikit padamu bahwa tempat ayahmu pertama bekerja bahkan belum pernah ayah kunjungi dan dengar namanya sebelumnya. Sebuah kabupaten kecil di daerah Sumatera. Beruntung, di sini ayah temukan banyak kawan baru yang senasib pun sepenanggungan. Mereka adalah orang-orang tangguh yang turut mewarnai hidup ayah. Orang-orang yang rela hidup terpisah jauh dari keluarga dalam menjalani hidup dan hari-harinya. Mungkin sama juga dengan nasib ayah sewaktu kau membaca surat dari ayah ini.
Kelak, ketika kau beranjak besar nanti, kau akan sering marah pada ayahmu ini. Marah tersebab kelewat rindu karena ayah tak bisa setiap hari melihat dan mengelus rambutmu setiap malam sebelum kau berangkat tidur. Untuk satu dan banyak hal, ayah meminta maaf sebesar-besarnya kepadamu. Karena sebuah perintah yang mereka sebut sebagai tugas negara, ayah harus meninggalkanmu di sebuah kota. Agar kau tak perlu ikut takluk pada jarak seperti yang ayah alami bertahun-tahun lamanya. Agar kau bisa menikmati indahnya hidup tanpa harus sering mengucap perpisahan pada kawan-kawanmu.
Anakku yang dipenuhi rasa ingin tahu,
Kau tak perlu mencari-cari alasan agar bisa bangga pada ayah. Agar bisa menutupi kesedihanmu karena jarang melihat ayahmu. Tak perlu kau pamerkan pada semua kenalanmu bahwa ayah sedang mengabdi pada republik, menjaga penerimaan negara agar pemerintahan dapat berjalan dengan baik, dan segala alasan yang sejenis. Sungguh lah tak perlu hal-hal klise macam itu kau ceritakan. Kau justru harus bangga pada dirimu sendiri. Banggalah karena kamu tetap bisa menjaga dirimu sendiri dan mengumpulkan mimpi-mimpi yang kaurajut sedari muda, walau ayah tak selalu ada di sisimu. Kau harus bangga karena bisa kuat meski mempunyai ayah yang lemah, ayah yang kalah pada mimpi-mimpinya sendiri.
Di antara lamunanmu, kau berhak mempertanyakan, mengapa ayah tidak mencoba untuk mengejar cita-cita yang ayah punyai dengan segenap kemampuan. Kau berhak menghakimi ayah mengapa ayah, dengan segala ego dan kesombongannya, mau hidup berpindah-pindah hanya untuk memperoleh uang. Tapi percayalah pada ayah, anakku sayang. Percayalah bahwa ayah ikhlas membunuh mimpi-mimpi ayah, membunuh idealisme yang ayah punyai demi dirimu, demi ibumu, dan demi kakek dan nenekmu, dulu.
Iya. Dulu. Ayah takkan pernah bisa lupa saat ayah menerima pengumuman kelulusan Ujian Masuk STAN, sebuah pintu yang mengantarkan ayah hingga bisa melangkah sejauh ini. Saat di mana segala kesombongan masa muda ayah runtuh. Ayah yang merasa hebat dan ingin bersekolah tinggi—yang sempat memaksa kuliah di tempat yang biayanya takkan mampu terbayar oleh kakek dan nenekmu—luluh seketika melihat nenek sujud syukur sambil menangis mengetahui anaknya bisa bersekolah gratis, pun menjanjikan pekerjaan yang diidamkan oleh beliau: Pegawai Negeri Sipil. Ayah juga melihat kakek menghela napas lega. Beliau semakin menua tiap harinya, sudah ingin lekas beristirahat dari bisingnya dunia kerja. Dan ayah rasa, ayah tak pantas menjadi egois di tengah semua keterbatasan kemampuan yang kami punya.
Namun tentu saja ayah tak serta merta kehilangan mimpi dan harapan. Lama setelah itu ayah—meski secara perlahan makin mengendur—masih mencoba memegang kedua hal yang selalu menghidupi jiwa seorang manusia di atas. Benar anakku, suatu saat kau akan belajar bahwa tanpa impian dan harapan, manusia hanya seperti binatang yang pandai. Mayat yang bernapas. Oleh karena itu, semenyedihkan apapun kau kelak, tetaplah bertahan dengan mimpi-mimpimu. Itulah guru yang akan mengajarkanmu tentang makna hidup sesungguhnya.
Mungkin setelah cukup besar untuk mengerti, kau akan mencela ayahmu yang hanya asal bisa menasihati. “Bahkan ayah sendiri tak sanggup menjaga omongan. Mana bisa ia mengajarkannya,” mungkin begitu pikirmu. Tak apa anakku. Tak apa. Justru karena hal itulah ayah menasihatimu. Ayah tak ingin kau menjadi menyedihkan seperti ayahmu ini. Ayah ingin kaudapat mengejar mimpimu sendiri tanpa perasaan malu dan inferior. Sungguh karena itulah ayah rela membuang mimpi-mimpi yang ayah punya. Ayah rela menjadi seorang pragmatis yang kau benci, asal kau tak kekurangan materi apapun dalam mengejar mimpi kepunyaanmu.
Anakku yang baik,
Untuk menutup surat ini, biar ayah beri tahu padamu satu hal: hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan. Begitu kata seorang penyair Belanda. Sebab itulah ayah berani bertaruh banyak hal. Mungkin hingga meninggal nanti ayah tidak pernah bisa memenangkan pertaruhan ini, tapi ayah yakin kamu bisa. Karena kamu adalah anak kebanggaan ayah. Dan ayah sayang padamu.
Kecup jauh,
Ayahmu