CerpenTumis Bunga Pepaya dan Pisang Goreng dari Sumi

Tumis Bunga Pepaya dan Pisang Goreng dari Sumi

Bagi Sumi, ia tak punya alasan untuk pulang ke rumah.

Kepada orang yang tidak begitu dekat, Sumi akan bilang bahwa pulang ke rumah berarti menghabiskan separuh waktu liburannya di perjalanan dan seperempat waktu untuk istirahat, sehingga sisanya hanya seperempat. Sisa seperempat itu biasanya diisi Sumi dengan makan dan jalan-jalan di luar rumah.

“Lha ngapain aku pulang kalau cuma buat numpang tidur dan berak?” Begitu kata Sumi.

Sebenarnya yang disebut rumah di sini adalah rumah di kampung Sumi, yang letaknya sekitar delapan ratus kilometer dari tempat tinggal Sumi yang sekarang. Rumah itu tidak kosong, masih ada bapak dan ibu Sumi, yang usianya sudah 60-an tahun. Rumah orang tua Sumi tidak besar, begitu pun halamannya. Barangkali halaman itu hanya muat buat lima ekor ayam berlarian dengan bebas tanpa saling bertabrakan.

Delapan ratus kilometer itu bukan masalah besar kalau Sumi berduit. Kalau duit itu ada (dan banyak), Sumi bisa beli tiket pesawat, dan itu artinya Sumi bisa menghemat sepuluh jam perjalanan, untuk sekali jalan. Kalau pulang pergi, ada dua puluh jam yang bisa dihemat. Sangat mungkin dua puluh jam itu bisa dihabiskan Sumi dengan membuat kue lumpur bersama ibunya, mengambil telur ayam yang tidak seberapa jumlahnya di kandang dengan bapaknya, atau sekedar berbincang ringan bersama orang tuanya. Apalagi kalau Sumi pulang pada akhir pekan, maka dua puluh jam adalah segalanya.

“Kalau aku punya banyak uang, aku juga akan melakukan itu. Tak usah diberi tahu!” Sumi bilang sambil bersungut-sungut.

Karena Sumi tidak punya cukup banyak uang untuk beli tiket pesawat, delapan ratus kilometer itu ditempuh Sumi dengan kereta, yang sekarang cuma bisa dinaiki oleh penumpang bertiket. Yang tidak punya tiket dan berharap tetap bisa naik dengan membayar kepada petugas di atas kereta, sudah tidak bisa ditemui lagi. Maksudnya, sudah tidak bisa lagi naik kereta dengan cara begitu.

Dengan tiket yang harganya cukup terjangkau itu, Sumi perlu sekitar dua belas jam untuk sampai ke stasiun di dekat rumahnya. Dua belas jam itu adalah faktanya. Teorinya, yaitu yang tertulis di tiket, adalah sepuluh jam. Jadi petugas-petugas kereta, mulai dari direktur, masinis, petugas loket, petugas peron, sampai pramugari, sebenarnya telah memberi harapan palsu, membohongi, dan mengecewakan sekian ratus penumpang kereta.

Lha selisih dua jam itu kan lumayan sekali. Kalau ada yang rumahnya jauh dari stasiun, dalam dua jam ia bisa sudah sampai di rumah, atau sedang di dalam bis menuju rumah. Kalau ada yang rindu keluarganya, atau kekasihnya (yang mungkin saja punya kekasih lain di kampung), bisa punya dua jam waktu tambahan untuk bertemu. Kalau ada yang kebelet kencing atau berak tapi tidak tega melakukannya di toilet kereta (yang kadang-kadang bersih namun lebih sering tidak), mereka tidak perlu menahan dua jam lebih lama.

Dua jam inilah yang sering sekali dipermasalahkan oleh Sumi.

“Aku jadi duduk di kereta selama dua belas jam dengan sandaran kursi yang tegak dan kakiku tidak bisa selonjor. Itu capek sekali. Jadi ketika di rumah, mumpung di rumah, aku bisa tidur dan meluruskan otot-otot kakiku yang sudah dipaksa kaku dua belas jam.” Begitu Sumi menjelaskan kenapa ia justru banyak tidur ketika sampai di rumah.

Meskipun Sumi merasa capek akibat dua belas jam duduk di kereta, tapi sesungguhnya Sumi tidak hanya menghabiskan waktunya dengan tidur. Sering juga ia keluar, menyambangi teman-temannya ketika SD dan SMP. Kadang-kadang kunjungan berakhir dengan makan di warung bakso dekat pasar kecamatan. Kadang juga kunjungan itu berlanjut menjadi kunjungan berantai dengan jumlah peserta yang semakin banyak seiring dengan bertambahnya jumlah lokasi kunjungan.

“Karena silaturahmi memperpanjang umur dan memperbanyak rejeki. Masa begitu saja tidak tahu?” Itu alasan Sumi.

Kalau sedang punya uang sedikit lebih, Sumi membeli oleh-oleh dari tempat tinggalnya sekarang untuk teman-temannya di kampung. Itupun bukan oleh-oleh untuk seorang satu seperti baju, mukena, atau peci. Sumi selalu membawa sesuatu yang bisa dihabiskan beramai-ramai namun tetap menyenangkan dan mengenyangkan semua pihak, misalnya keripik atau kerupuk.

Kepada orang-orang yang tidak begitu dikenalnya, ia akan berkata begitu, seperti yang sudah diceritakan tadi. Namun tidak kepada orang-orang terdekatnya. Raut muka Sumi juga berubah 180 derajat jika bercerita kenapa ia cuma numpang tidur dan berak di rumah.

“Aku merasa bodoh sekali dan tidak berguna kalau di rumah.” Tidak ada lagi Sumi yang judes kalau sudah seperti ini. Sumi langsung menundukkan wajah, menyembunyikan matanya yang makin berkaca-kaca dan suaranya yang agak bergetar.

Bapak dan ibu Sumi adalah orang baik, setidaknya begitu pendapat tetangga-tetangga Sumi. Ibu Sumi sering mengantar hasil masakannya kepada tetangga atau membantu memasak ketika ada kenduri, dan bapak Sumi senang membantu tetangga yang merenovasi rumah atau mengambilkan buah kelapa dari pohon.

“Tapi tidak pernah ada makanan di rumah. Ibu hanya memasak untuk dirinya sendiri. Juga ada banyak genteng bocor dan engsel pintu copot di rumah. Tapi Bapak hanya numpang tidur dan nonton televisi sebentar, sesekali minum kopi bikinan sendiri atau menggoreng pisang dari pohon pisang di pekarangan.”

Ketika di rumah, meskipun sejatinya ada tiga orang di dalam rumah tersebut, Sumi selalu merasa sendiri. Kadang ia makan masakan ibunya, kadang ia memasak untuk bapaknya. Sesekali ia mengobrol dengan ibunya di kamar, sesekali ia mengobrol dengan bapaknya di depan televisi (meskipun itu hanya sekedar basa-basi bertanya kabar, bukan ngobrol yang sesungguhnya). Yang paling sering adalah Sumi merasa ingin marah, kemudian ia pergi keluar rumah, menemui teman-temannya, dan makan bakso di warung dekat pasar kecamatan, seperti saat ini.

Sumi, sama seperti orang-orang yang merasa sendiri padahal faktanya tidak, merasa bahwa yang salah adalah bapak dan ibunya. Keduanyalah salah, ia tidak. Ibunya terlalu banyak bicara, bapaknya terlalu banyak diam. Tapi keduanya sama-sama tidak mau mendengar.

Sumi tidak bisa bicara, karena ibunya tak mau mendengar. Sumi tidak bisa diam, karena bapaknya lebih diam lagi. Tapi Sumi tidak bisa tidak mendengar. Jadi ia selalu mendengarkan bapak ibunya, sampai kupingnya panas, kemudian kepalanya panas, lalu dadanya panas, yang membuat ia merasa ia sedang berada di neraka.

“Kalau aku menikah, aku tidak ingin jadi istri seperti ibu. Aku juga tidak mau punya suami seperti bapak.” Kata Sumi pelan, hampir berbisik malah.

Lalu tiba-tiba Sumi tertawa, di sela-sela tawanya ia bilang bakso yang ia makan rasanya enak sekali. Dagingnya terasa, rasa kuahnya pas, mi bihunnya juga kenyalnya cukup. Es jeruk yang ia pesan juga manis dan segar.

Lalu kenapa kamu masih pulang, Sumi? Itu tandanya kamu masih sayang pada bapak dan ibumu. Kamu jelas punya alasan untuk pulang.

“Aku pulang hanya untuk memastikan bahwa aku masih ahli waris satu-satunya dari harta mereka. Yah, meskipun harta mereka tidak banyak.” Sumi kembali tertawa, kali ini suara tawanya keras sekali, sampai beberapa pengunjung warung bakso yang lumayan ramai menoleh ke arahnya.

Tadi pagi Sumi memasak tumis bunga pepaya untuk ibunya dan menggoreng pisang untuk bapaknya, serta menyiapkan sebilah pisau tajam untuk ia gunakan ketika ia pulang ke rumah nanti.

Berita sebelumyaDia yang Tidak Pernah Kelihatan Tersenyum
Berita berikutnyaDadu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

TERPOPULER

TERBARU

Defying “Gravity”

Suratku

Sendiri di Singosari

PNS Bukan Cita-Citaku

ARTIKEL TERKAIT

Retakan

KNTL

Firasat