Sulit rasanya meyakini ujaran bahwa gara-gara utang saat ini, Indonesia esok hari tinggal nama belaka. Terdengar mengerikan. Seakan-akan negeri ini ditempatkan di tepi kebangkrutan. Harus diakui memang, dalam lima tahun terakhir, perbandingan antara total utang dan total Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai titik tertinggi di 34 persen (Laporan Bank Indonesia periode Maret 2017, angka tersebut didapatkan dari hasil bagi total utang pemerintah termasuk swasta US$326 milyar dengan total PDB US$958 milyar). Namun, angka itu sesungguhnya masih berada di batas aman terkendali, jauh di bawah batas maksimal yang bisa ditolerir Undang-Undang (sebesar 60 persen). Sampai dengan Januari 2017, total Utang Pemerintah mencapai Rp3.549,17 triliun.
Mengapa Negara Berutang?
Sederhana saja. Negara berutang karena kekurangan uang untuk membiayai semua kebutuhan kehidupan bernegara. Termasuk dalam kebutuhan ini adalah pembangunan. Ihwal yang satu ini berkaitan dengan janji kampanye rezim yang berkuasa. Di bawah rezim Jokowi-JK, hasrat memajukan infrastruktur begitu terasa. Sayangnya, hasrat ini belum berimbang dengan kemampuan keuangan negara.
Mungkin kondisi ini bisa dibantah dengan argumen, “Kalau begitu ya rencana pembangunannya yang disesuaikan dengan kemampuan!”
Tentu argumen semacam itu sah-sah saja. Namun, realitasnya, Indonesia tidak hidup sendirian di muka bumi ini. Semua negara saling berkolaborasi sekaligus juga berkompetisi satu sama lain untuk semakin maju. Pun Indonesia. Membiarkan kondisi infrastruktur tetap lemah, akan membuat daya saing negeri ini tertinggal. Menurut World Economic Forum 2016, infrastruktur Indonesia menempati urutan 82 dari 142 negara. Kebutuhan mengejar ketertinggalan itu harus didukung dengan pembiayaan yang kuat. Mau-tidak-mau, negara perlu mengambil utang.
Sebagai gambaran, menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang dirilis Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dibutuhkan dana setidaknya Rp6.780 triliun untuk mendanai dua belas kelompok infrastruktur di Indonesia. Dari semua kelompok itu, infrastruktur berupa jalan menempati kebutuhan tertinggi sebesar Rp1.274 triliun; disusul Water Resources Rp1.091 triliun; dan energi Rp1.080 triliun. Sepenuhnya mengandalkan APBN untuk membayar semua kebutuhan tersebut jelas perkara yang muskil. Bagaimana mungkin? Kita ambil contoh dari tahun anggaran 2017, di mana total pendapatan negara diperkirakan sebesar Rp1.750,3 triliun dan total belanja negara senilai Rp2.080,5 triliun. Terdapat kekurangan sebesar Rp330,2 triliun. Kekurangan inilah yang ditutupi melalui utang dan bisa semakin besar jika target pendapatan negara tidak tercapai.
Sementara itu, kebutuhan negara tak bisa menunggu. Itu sebabnya, utang juga menjadi pilihan yang paling cepat dan logis dibandingkan opsi lain (seperti menaikkan tarif pajak yang dapat menimbulkan resistensi dari masyarakat). Apa mungkin pembangunan infrastruktur dihentikan lantaran harus menunggu sumber pendanaan murni dari negeri sendiri? Mungkin bisa tetapi butuh waktu yang lebih lama lagi untuk mewujudkannya. Lalu bagaimana dengan kebutuhan rutin (namun penting) lainnya yang tidak bisa ditunda (semisal membayar gaji TNI, Polisi, atau Belanja Bantuan Operasional Sekolah)? These can not wait that long!
Gambaran soal kebutuhan ini, khususnya pembangunan infrastruktur, muncul karena Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat menganut prinsip belanja yang ekspansif dan terarah. Ekspansif artinya menempatkan belanja pembangunan sebagai prioritas, dan terarah berarti utang tersebut sudah direncanakan dan terukur manfaatnya bagi pembangunan dan jelas tujuan atau penggunaanya.
Patutkah Dikhawatirkan?
Tidak perlu. Barangkali cuma itu jawaban yang pas atas semua kekhawatiran soal utang. Kecuali dulu, pasca-krisis ekonomi 1998-1999 di mana rasio utang pemerintah terhadap PDB tecatat sekitar 80 persen. Kini, rasio tersebut sudah turun jauh mencapai 34 persen dan masih lebih rendah dibandingkan Malaysia (74 persen), Turki (47 persen), atau Brazil (38 persen).
Kekhawatiran yang berlebihan atas kondisi utang negeri ini merupakan hal yang tidak beralasan, apalagi mengaitkannya dengan isu kedaulatan negara. Benar bahwa dari perspektif ilmu Hubungan Internasional, utang adalah bentuk baru penjajahan oleh bangsa asing terhadap suatu negara. Namun, perspektif itu hanya berlaku jika utang tidak dikelola dengan bijak untuk tujuan produktif tanpa arah. Lagipula dari total Utang Pemerintah Rp3.549,17 triliun hanya 20.52 persen yang merupakan Pinjaman Luar Negeri (bilateral, multilateral, komersial bank, atau suppliers) selebihnya 79.33 persen bersumber dari Surat Utang Negara (SUN) yang diminati masyarakat (terlihat dari adanya oversubsribed). Adanya kontribusi SUN dalam komposisi total utang menunjukkan bahwa utang tersebut diperoleh dari masyarakat dalam negeri tanpa melihat batas nominal. Bisa ratusan bahkan ribuan.
Kecuali bagi sekelompok orang yang memang berniat melakukan komodifikasi isu untuk kepentingan tertentu, nyatanya kondisi utang belum mengkhawatirkan dan tidak membebani anggaran negara. Kehadiran kebijakan belanja yang ekspansif memang terbilang tidak biasa, agak sedikit mengejutkan. Namun, kebijakan ini adalah harga yang harus dibayar untuk dapat menjamin kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Terlebih adanya bonus demografi di masa depan, yang hanya dapat dimanfaatkan dengan dukungan infrastruktur yang memadai sedari dini. Agar sumber daya manusia yang kelak disebut-sebut sebagai kumpulan bonus itu, benar-benar siap menjadi manusia dengan kapasitas yang berdaya saing. Persiapan itu dapat dipercepat dengan pendanaan dari utang. Melalui kehadiran utang, pemerintah mampu mendorong peningkatan dan pemerataan akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat untuk taraf kehidupan yang lebih baik.
Risiko adanya utang adalah hadirnya biaya bunga dan periode jatuh tempo yang tidak terawasi. Ini benar adanya. Pada 2017, misalnya, total pembayaran bunga utang mencapai Rp221.2 triliun tetapi dengan skema rata-rata jatuh tempo yang telah diperhitungkan, beban bunga tersebut dapat disebar menurut penentuan skala prioritas (rata-rata jatuh tempo pembayaran adalah 9 tahun). Sehingga risiko dari beban bunga menjadi lebih terkelola. Yang sulit dipantau adalah risiko kurs, stabilitas kurs atau nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dipengaruhi banyak variabel, dan sebagian dari variabel itu di luar kendali pemerintah.
Sebaik-baik upaya yang bisa dilakukan adalah menjaga stabilitas dalam negeri, dan di situ ada peran kita untuk bisa mewujudkannya. Caranya? Berhenti menjadi bagian dari keributan yang tidak perlu, yang secara eskalatif akan membesar-besarkan masalah dan membentuk citra Indonesia sebagai negeri yang tidak stabil kondisi dalam negerinya. Termasuk menyebarkan kabar atau isu bahwa negeri ini akan bangkrut dibebani utang.
Ok, dari cerita panjang di atas, rasanya sudah jelas bahwa kisah utang di Indonesia bukanlah horor yang menggerogoti negara. Sebab ada tujuan yang hendak dicapai dan skema pengelolaan risiko yang sudah disiapkan. Jadi tak perlu khawatir, Indonesia akan tetap baik-baik saja selagi kita masih mau menjaganya.