Pukul 06.58 WIB
Aku memaksa mengangkat tubuhku yang lemah dari kasur, membersihkan kotoran yang menumpuk di sudut mata – aku tak ingat apakah aku menangis lagi sepanjang tidur, dan beranjak mandi untuk menghilangkan cairan serebrospinal yang bergerak ke otak dan menyebabkan pandanganku kabur. Kepala terasa berat seperti mau pecah, andai saja aku bisa melepaskan dan menghancurkannya sejenak – pasti hidupku terasa lebih mudah. Dokter pernah bilang bahwa aku menderita anemia akut karena kadar sel darah putihku memiliki jumlah yang melebihi batas normal, dan dipicu oleh pola tidurku yang terlalu buruk. Tapi hal itu tidak membuatku bersedia mengubah kebiasaanku untuk tidur di pagi hari, apa yang dimengerti oleh dokter itu tentang aku? Tidur pagi ini adalah kebutuhan primerku, dan aku tetap akan bertanggung jawab untuk bekerja dan bangun sebelum pukul 7 lebih atau kurang beberapa menit sebagaimana hari ini. Dokter tidak perlu khawatir begitu.
Aku mengeringkan rambutku yang basah, mengenakan seragam dan kerudung seadanya, menaburkan concealer bubuk untuk mengaburkan kantung mata, dan mengoleskan lipbalm pada bibirku untuk mengurangi rona pucat dari rupa. Bayangan diri di cermin seakan mencibir betapa kasihannya diriku dan mau tak mau aku mengiyakan dengan sedikit keluh, “Damn, I’m ugly!”. Mungkin benar kata orang-orang sekitar – yang kelihatannya sangat peduli walau sebenarnya tidak, menyerbu tanya tentang mengapa aku belum menikah juga di usia kepala tiga yang beranjak menua. Mungkin kau buruk rupa – aku bisa menebak apa kata hati mereka dari bahasa tubuh dan jari-jari yang angkuh. Mungkin kau terlalu pilah-pilih – bahkan urusan berpakaian pun aku tidak pintar memilih. Mungkin ada benarnya jika kami jodohkan kau dengan Pak Supandi, duda beranak satu yang seorang kepala seksi – coba saja ajak aku berkenalan sebelum aku lari. Mungkin kau terlalu malas, selalu tidur pagi, sehingga rezeki dan jodohmu pun lari.
Terima kasih telah menghakimi.
Malas, kata mereka? Ah, sudahlah. Jika tidur pagi ini adalah sebuah tabu biar aku jelaskan penyebabnya hingga mereka merintih pilu. But I know, it’s not important. Some things are better left unsaid.
***
Pukul 07.35 WIB
Aku baru keluar melangkah dari kosan yang hanya berjarak limabelas menit berjalan kaki ke kantor tanpa perlu diterpa siksaan Jakarta setiap pagi. Pilihan ini paling tepat untukku yang membutuhkan waktu kontemplasi yang lama sambil mensyukuri flexy time yang aku manfaatkan setiap hari. Pulang larut malam atau tidak pulang sama sekali juga tiada yang menanti, tiada yang menuntutku untuk ada, dan tiada pula yang kusebut rumah selain kamar kos denga kasur minimalis yang seprainya jarang kuganti. I’m just invisible. Sama halnya seperti nasib Max Dillon di film Amazing Spiderman – he’s just as invisible as I am. Bedanya dia seorang teknisi dan aku seorang pegawai negeri. Itu saja.
Seperti biasa aku langsung bersembunyi dalam kubikel, menghidupkan PC, dan menyeduh kopi hitam kental. Hanya itu sarapanku. Aku bersyukur ditempatkan di bagian dimana aku tidak perlu berinteraksi dengan banyak orang. Aku bertanggung jawab mengelola website, desain majalah, spanduk, atau apa saja yang membutuhkan act of solitude – aku siap melakukannya. Di ruangan ini, tak banyak pula yang sering menyapa aku jika aku tak dibutuhkan. Ironisnya, aku punya banyak kenalan tapi tak punya orang-orang yang bisa disebut teman. Mungkin, hanya satu dari sekian yang masih menganggapku rekan, bukan robot berbahan bakar kopi instan dan tunjangan – seorang gadis yang baru masuk setahun belakangan.
“Kak Asa, sakit ya? Kenapa tambah kurus? Ibu membawakanku bekal untuk sarapan, terlalu banyak, kita makan berdua ya.”
Aku mengangguk. Ah, gadis itu membuatku iri saja. Bukan tentang kecantikan atau semangatnya, bukan pula tentang jam biologisnya yang bisa membuat dia selalu terbangun pagi-pagi buta untuk mengejar kereta. Bukan, tapi – tentang sesuatu yang dulu pernah kumiliki. Yes, it is family.
***
Akhir Desember, sebelas tahun yang lalu.
Aku masih mengabdikan diri menyelesaikan studi di ibukota. Bersenandung riang, menikmati liburan dengan menjemur pakaian yang menumpuk hingga membuat rontok pinggang. Kedamaian pagi itu tersamarkan oleh teriakan seorang kawan. Dari depan televisi, dia menggigil seperti meriang.
“Asa, Aceh terkena musibah. Asa, tsunami sa! Bagaimana keluargamu di sana?”
Aku tak ingat apa-apa setelah itu. Aku pingsan. Seluruh keluargaku tidak ada yang selamat, kampung halamanku hancur. Aku pingsan berkali-kali.
Aku ingin ikut mati.
Pertama kalinya aku menganggap bahwa Tuhan salah mengerti. Aku kehilangan semuanya yang berharga. Dia mengambil semuanya yang kupunya dengan semena-mena.
Keluarga. Harapan. Cinta. Aku putus asa.
***
Hidupku berubah seratus delapanpuluh derajat setelah kejadian itu. Aku butuh waktu untuk menyadari bahwa realita ini nyata. Aku pernah kuat, dulu, tapi teman-teman baik yang pernah memelukku telah pergi satu persatu, menjalani mimpi dan kehidupannya, menikah, dan melanjutkan hidup. Aku tak punya pegangan. Bertahun-tahun aku tak pernah pulang. Untuk apa merayakan duka? Yang tersisa hanya orang-orang yang tak pernah kukenal dan sesekali menghubungi, mengaku keluarga jauh, lalu meminta uang untuk hajatan atau apapun itu namanya, tetapi tak terdengar lagi kemudian.
Beberapa orang pernah merekomendasikan pelarian sebagai bentuk pemulihan agar aku bisa bangkit dari depresi. Ada yang menawarkan aku ikut pengajian atau komunitas beraliran motivasi, tapi aku semakin tak bisa lupa tentang luka yang menganga. Ada yang pernah menyarankan aku berkonsentrasi pada karier dan studi, tapi aku selalu gagal di tes psikologi – yang menyadarkan bahwa sesuatu yang salah telah terjadi dalam diri. Beberapa senior menasihati aku untuk membina hubungan yang serius dengan pria, lalu menikah dan punya anak, membentuk keluarga baru. Tapi apa daya, aku sudah tak pernah punya hubungan bertahun-tahun lamanya, angan itu telah sirna. Aku mencoba banyak bergaul dan bersosialisasi – yang memaksaku menjadi antipati, karena pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah henti memojokkan aku. Lalu aku mengalihkan kesedihan dengan minum kopi, membaca, atau menulis, tapi aku tak pernah punya ide baru selain patah hati pada mimpi-mimpiku sendiri. Pernah pula aku mengikuti beberapa kegiatan sosial menemui anak-anak yang kurang beruntung di panti atau di jalanan, dan jawaban salah satu bocah berusia tujuh tahun yang pernah kutemui terdengar bagai tamparan.
“Bagaimana rasanya tidak punya keluarga?”
“Sedih Kak, aku pernah merasa terbuang. Tidak ada yang menginginkan. Tapi aku bertemu orang baik seperti kakak. Dan, kini aku tahu satu hal.”
“Apa itu?”
“Aku masih punya harapan. Seperti nama kakak, Asa kan artinya harapan.”
Aku tersentak. Mungkin itu yang telah hilang, aku tak punya harapan – bahkan untuk diriku sendiri. Sepulang dari panti, aku menangis sejadi-jadinya. Aku malu.
Kini aku tahu, apa yang kurang dariku. Mengapa pemulihan-pemulihan itu tak pernah berhasil. Berdasarkan hierarki kebutuhan Maslow, aku masih terbenam di lapisan ketiga – kebutuhan memiliki kasih sayang. Bagaimana mungkin aku bisa menghargai diri sendiri dan mencapai aktualisasi diri, jika pemuasan kebutuhan itu tak pernah aku dapatkan?
Ruangan serasa berputar. Seharian aku melamun hingga lupa minum dan makan. Aku memilih tidur sebelum terpikir untuk bunuh diri.
***
Pukul 03.17 WIB
Aku bangun satu jam lebih awal sebelum Adzan Subuh berkumandang. Berdasarkan beberapa penelitian yang aku baca, ini adalah ritual yang paling sempurna. Bangun satu jam lebih awal, lalu tidur lagi minimal satu jam pada waktu terbangun biasanya. Tapi percayalah, satu jam tidur itu tidak pernah cukup – aku selalu ketagihan, menginginkannya lagi dan lagi.
Selama satu tahun terakhir, aku menemukan pemulihanku sendiri, yakni dengan tidur pagi hari. Mungkin orang-orang tidak mengerti, tapi itu sangat baik, karena aku tidak perlu repot-repot menjelaskan kenapa. Metode itu tidak membutuhkan banyak biaya. Hanya perlu kasur dan senyum lebar penuh harap sebelum lelap. Niscaya aku akan bermimpi. Mimpi yang luar biasa jelas, mimpi yang hidup yang lebih indah dari kehidupan itu sendiri.
It’s called lucid dream.
Di dalam mimpi itu, aku bisa menyentuh ibu, menggenggam tangan ayah, menggendong adik-adik, bertemu seseorang yang pernah kucintai yang ternyata berselingkuh – namun tidak dalam mimpi ini. Aku bisa melihat mereka semua hidup, mendekapku hangat, dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Lalu, aku bisa terbangun dengan damai.
Aku mengulangi ritual itu setiap pagi, menemui mereka lagi, menjadi seseorang yang hidup dalam mimpi, namun mati suri dalam hidupnya sendiri.
Sampai suatu ketika, ibu berkata dalam mimpiku dengan duka, “Aku ingin kau hidup, Asa.”
“Aku memang masih hidup, Ibu.”
“Bukan hidup yang seperti itu, Nak.”
“Aku rindu kalian, ibu, ayah, aku rindu punya keluarga.”
“Aku rindu kamu melanjutkan hidupmu, Nak.”
“Tapi…”
“Itulah, mengapa kau diberi nama Asa.”
“Ibu…”
Bayangan ayah dan adik-adik mulai lenyap, sekelilingku mulai gelap.
“Jangan salahkan Tuhan, jangan salahkan masa lalu. Semuanya terjadi karena suatu maksud.”
Ibu meninggalkanku, aku sendiri dalam mimpi itu. Aku tidak dapat melihat apapun. Hanya ada butir-butir mutiara yang menetes – itu air mata ibu.
Aku terbangun dengan keringat dingin. Layar handphone menunjukkan pukul 09.52 WIB dan tujuh buah missed calls dari gadis pembawa bekal sarapan di ruangan. Aku memandang cermin dan mengusap wajahku yang berpeluh, “Damn, I’m screwed!”
***
Sejak pagi itu, ibu, ayah, dan adik-adik tidak pernah hadir lagi dalam mimpiku walau dengan berbagai cara aku berusaha mengundang mereka untuk kembali. Aku masih mengalami lucid dreams, tetapi yang kutemui hanyalah makhluk-makhluk aneh seperti unicorn, hujan meteor, kode-kode pemrograman yang menyerangku dari udara, dan diriku dalam versi tua yang menertawakan keterlambatanku dalam berbagai aspek bahkan secara spiritual dan mental.
“No, I still have hope. My name is Asa – and it means hope!”
Aku berteriak-teriak dalam mimpiku. Akhir-akhir ini, mimpi-mimpi itu tidak pernah tampak menyenangkan lagi. Bagaimana mungkin aku merelakan hidupku untuk mimpi yang tersia-sia?
I give up. I disappoint myself, I disappoint my mother. It’s the worst. I’m just too old for this. The past is done, but nothing can change my life except myself.
***
Pukul 05.27 WIB
Aku tidak mengantuk lagi. Aku belajar mencintai diriku sendiri sejak saat itu, dan memaafkan masa lalu.