Bagaimana rasanya mati?
Seperti suara yang keluar dari dalam sebuah radio butut, pertanyaan itu sudah seminggu terus berputar-putar di dalam kepalaku. Membuat hidupku tidak tenang. Menghantuiku setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit. Membuatku nyaris gila.
Kutenggak habis minuman di dalam gelasku, kemudian kuletakan cangkirnya di sudut meja. Saat ini aku sedang duduk di pelataran sebuah tempat di atas tebing. Aku sedang mencoba untuk melarikan diri dari diriku sendiri. Tapi biar kuberitahu satu hal, sia-sia berusaha kabur dari pikiranmu sendiri. Bajingan tengik itu selalu tahu ke mana kita pergi. Bagai anjing pelacak dia akan mengendus bau kesadaran kita, dan tanpa diminta dia akan dengan senang hati membisikkan ide-ide ajaib dan tak waras.
Aku tak sendirian di tempat itu, tentu saja. Ada beberapa orang yang juga sedang duduk. Kulirik meja-meja di sekitarku. Berbagai meja dengan terpal payung warna-warni. Di bawah payung itu duduk pasangan muda-mudi. Lihat mereka! Astaga. Mereka makan dengan jorok dan rakus. Mengambil makanan tanpa sopan-santun, mengobrol dengan mulut penuh makanan, tertawa terbahak-bahak. Semua itu membuatku ingin muntah. Melihat mereka semua kembali membuatku mengingat alasan kenapa aku betah mengunci diri berbulan-bulan di dalam kamarku sendiri.
Beberapa meter di depanku duduk seorang pria. Dia duduk mengahadap ke arah tebing, membelakangiku. Dari bentuk badannya kutebak umurnya ada di kisaran tiga puluhan, sebaya denganku. Aku mencoba untuk mengalihkan pandangan, tapi entah mengapa setiap beberapa detik sekali kedua mataku akan kembali menatap punggung pria itu.
Gelagatnya aneh. Dia seperti sedang kebingungan. Badannya tampak bergerak-gerak tidak nyaman. Sedari tadi dia terus menoleh ke kanan dan kiri, seperti sedang mencemaskan sesuatu.
Setelah beberapa waktu memperhatikan pria itu, tiba-tiba rasa gugup datang menyerangku. Rasa gugup yang muncul jika aku terlalu lama berada di dekat manusia lain, terutama manusia aneh sepertinya. Semakin dilihat keberadaan pria itu semakin membuatku tidak nyaman. Ada bayang tak kasat mata yang menyelingkupinya. Bayangan yang kelam dan mencekam. Aku tiba-tiba merasa dia berada di tempat yang salah. Seharusnya dia tidak datang ke tempat ini. Atau seharusnya akulah yang tidak datang ke tempat ini? Akulah yang berada di tempat yang salah? Tanpa sadar aku mulai mengigiti ujung kuku jempol tangan kananku.
Pria itu kemudian menyingkap taplak mejanya. Dia tampak sedang berbicara pada sesuatu yang berada di kolong meja. Aku mengernyit. Ada apa di bawah mejanya?
Tak lama kemudian aku mulai mendengar erangan suara berisik yang sepertinya berasal dari bawah kakiku. Aku menahan napas. Apakah makhluk yang tadi berada di kolong meja pria itu sudah berpindah tempat ke kolong mejaku. Terus kugigiti jempolku dengan resah, aku tak berani melihat ke bawah. Apapun itu, suaranya sangat mengerikan.
Suara-suara itu membuat telingaku gatal. Selintas suara itu terdengar seperti suara tikus yang sedang mengigiti kayu, tapi dengan tempo lebih cepat, seperti jarum mesin jahit yang membolongi karet. Aku berusaha untuk tidak mengacuhkannya, tapi lama-kelamaan suara itu semakin terdengar menyebalkan, dan seakan mengoloku untuk melihat ke kolong kursi. Aku melihat ke sekitarku, mencari bantuan. Tapi semua orang di tempat ini sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Kutelan ludahku. Perlahan kuturunkan pandanganku ke arah taplak meja di bawah. Tangan kananku bergetar saat meraih taplak meja, kugenggam kain taplak itu dengan erat. Kurasakan rasa ngilu di buku-buku tanganku.
Aku kembali menelan ludah, kemudian kusingkap kainnya sekaligus.
Bangsat!
Ternyata suara-suara yang kudengar berasal dari derit kursi yang sedang kududuki. Kursinya berderit karena selama ini ternyata tanpa kusadari sebelah kakiku menghentak naik-turun karena gelisah.
Kuhela napasku dengan panjang, kemudian kupejamkan kedua mataku. Aku mencoba mengatur denyut jantungku yang mulai berdetak tak karuan. Kurasakan keringat menetes jatuh dari pelipisku, merembes melalui kerah kemejaku. Aku merasa seperti orang sinting.
Pelan-pelan aku membuka mata. Hal pertama yang kulihat adalah pria itu. Ya lagi-lagi dia, sialan!. Saat ini dia sedang tengadah menatap langit, memperhatikan entah apapun itu yang menurutnya menarik di atas sana. Beberapa saat kemudian perhatiannya beralih ke panorama perkotaan yang terlihat bercahaya dari ujung tebing.
Tanpa kusadari aku ikut tengadah ke arah langit. Kerlip cahaya bintang terlihat bersahutan, seperti anak ayam yang minta diberi makan. Aku mendengus. Jika benar gemintang di atas sana adalah denyut semesta menjelang waktu binasa, maka gemerlap kota dibawah tebing itu adalah geliat peradaban yang perlahan menggurita, menghisap saripati dunia sampai akhirnya tak bersisa. Keduanya sama-sama akan berakhir dalam kematian dan kehancuran.
Belum selesai aku berfilosofi, seorang pelayan datang ke meja pria di depanku. Dia membawakan secangkir minuman. Pria itu memperhatikan cangkirnya selama beberapa detik, seperti sedang berpikir keras. Tapi akhirnya dia menyesap isi cangkir itu dengan khidmat.
Pelayan itu kemudian datang juga ke mejaku dan meletakan sebuah cangkir minuman. Aku menatap minuman berwarna hijau itu dengan heran. Rasanya aku baru menghabiskan minuman yang sama beberapa waktu yang lalu. Aku baru saja hendak berbicara kepada pelayan itu, memintanya mengambil kembali minuman ini. Tapi saat kulirik ujung mejaku, ternyata tak ada apa-apa di sana. Cangkir kosong yang kuletakan tadi sudah menghilang. Atau aku yang sedang berkhayal?
Kuperhatikan kepul uap yang mengambang dengan tenang di atas cangkir itu. Uap itu menghilang perlahan, tanpa ada perlawanan. Mungkin begitulah rasanya mati, kesadaran kita menghilang perlahan seperti uap. Aku mulai menyesap cairan hijau itu pelan-pelan. Panasnya sedikit membakar ujung lidahku.
Tiba-tiba terdengar suara derit kursi. Aku mendongkak. Pria itu berdiri. Dia berjalan mendekati tebing. Aku memutar otak, mencoba mengingat-ingat. Dari caranya berjalan rasanya aku mengenal pria itu. Sepertinya aku sering melihatnya, tapi sayang sekali aku tak bisa mengingat kapan dan dimana aku pernah melihatnya.
Pria itu tiba di ujung tebing. Dia diam sebentar. Tapi tiba-tiba dia maju dan melihat ke dalam tebing. Dari gelagatnya aku tahu dia sedang panik. Dia sepertinya sedang mencari-cari sesuatu yang hilang. Mungkinkah ada barangnya yang tadi terjatuh? Ataukah dia melihat sesuatu di bawah tebing itu? Dari tempatku duduk aku tak bisa melihatnya dengan terlalu jelas, terlalu remang.
Ada dorongan aneh yang membuatku ingin mendekatinya. Mungkin rasa penasaran, aku tidak yakin. Aku berdiri, terdengar suara derit kursi yang kududuki. Aku berjalan mendekatinya ke ujung tebing. Pria itu masih terlihat mencari-cari dengan panik. Kalau benar dia sedang mencari benda yang terjatuh, di zaman seperti ini kemungkinan terburuknya hanya dua hal. Kartu kredit atau ponselnya yang jatuh.
Aku berdiri di belakangnya. Mengumpulkan keberanian untuk menyapanya. Mulutku bergetar dan lidahku terasa sangat kelu.
“Anu.. Apa yang sedang anda cari?” Tanyaku sambil mulai menggigiti kuku jempolku. Kuku jempolku mulai terasa perih, tapi aku tak bisa menghentikan kebiasaanku ini.
“Seorang pria baru saja melompat ke dalam tebing!” Dia berseru panik sambil terus mencari-cari ke dalam tebing. Kulihat dia juga mulai menggigiti kuku jempolnya. Nah! Berarti menggigit kuku jempol saat sedang cemas bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Karena ternyata oranglainpun melakukannya.
“Tapi..” Aku menelan ludah. “Sedari tadi tadi aku tak melihat siapapun melompat.” Jawabku heran. Seharusnya terjadi keributan jika ada orang yang melompat di tempat seramai ini.
“Sumpah! Dia melompat setelah melihat wajahku.” Pria itu menggelengkan kepala sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dia kelihatannya serius. Aku bisa melihat kerah kemejanya telah basah oleh keringat.
“Eh? Memangnya ada apa dengan wajah anda?” Aku memberanikan diri untuk bertanya. Baru kusadari sedari tadi aku belum pernah melihat wajah pria itu.
Dia berbalik. Belum sempat aku memperhatikan wajahnya, dia sudah menjerit histeris ketika melihatku. Mendengar jeritannya membuatku terkejut, dan aku semakin merasa panik. Pria itu masih terus menjerit sambil terhuyung-huyung mundur. Kemudian tanpa dapat kuhentikan, dia tiba-tiba melompat ke dalam tebing.
“Hey! Hey!” Aku berseru sambil bergegas menghampiri ujung pagar. Aku segera melihat ke dasar tebing, tapi tampak tak ada apa-apa di sana. Kupincingkan kedua mataku, mencari-cari dalam kegelapan. Astaga, kenapa dia melompat setelah melihat wajahku? Adakah sesuatu yang salah? Kurasakan kecemasan merasuki diriku. Jantungku berdegup dengan sangat cepat.
“Anu.. Apa yang sedang anda cari?” Beberapa saat kemudian terdengar suara seorang pria bertanya di belakangku.
“Seorang pria baru saja melompat ke dalam tebing!” Jawabku panik sambil terus mencari-cari ke dalam tebing.