PesiarTanjung Jagog: Every Teardrop is A Waterfall

Tanjung Jagog: Every Teardrop is A Waterfall

Seumur hidup saya yang sudah tujuhbelas duapuluh empat tahun ini, tak pernah sekiranya barang sekalipun saya mendapati air terjun di mana airnya memiliki rasa yang asin.

Barangkali pernah, andaikata air terjun yang saya cicipi itu mengalir lebih dulu melalui sesela ketiak saya sebelum saya sesap melalui bibir. Atau bisa juga kalau-kalau ada manusia terkutuk yang melakukan tindakan amoral berupa buang air kecil pada hulu air terjun yang saya kunjungi sehingga membikin airnya jadi asin bercampur dengan amoniak. Semuanya benar mungkin bisa terjadi, tetapi seingat saya, hal itu tidak pernah kejadian pada diri saya. Amit-amit.

Pada khittah-nya yang paling sahih, sebuah air terjun memang tak akan mungkin memiliki rasa yang asin. Ia tawar, pun menyegarkan tenggorokan. Akan tetapi, bukankah selalu ada pengecualian untuk segala hal di dunia ini. Begitupun dengan hal yang satu ini. Karena di Lombok, pulau yang saya tempati selama setahun kebelakang ini, air terjun yang seperti itu memang sungguh betul-betul ada. Dan nyata.

***

Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa kawan sedang menghabiskan akhir pekan dengan mengunjungi Pantai Nambung (anda bisa membaca catatan perjalanannya di sini). Sebetulnya, tujuan utama kami bisa dibilang bukanlah Nambung belaka. Pantai yang terletak di wilayah Sekotong, Kabupaten Lombok Barat ini hanyalah sebentuk gerbang yang akan mengantarkan kami menuju destinasi utama: Tanjung Jagog, tempat dimana air terjun asin itu berada.

Siang itu, selepas menikmati keindahan Pantai Nambung selama beberapa kejap, saya dan kawan-kawan melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Jagog. Lokasinya yang berada di ujung sebelah kiri pesisir Pantai Nambung, membuat kami kudu berjalan kaki menyusuri pasir-pasir merica milik Nambung untuk sampai ke sana. Diselingi dengan gelombang air laut yang silih berganti bergulung-gulung serta terik cuaca siang yang lumayan menyengat kulit, saya dan kawan-kawan memulai perjalanan menuju Tanjung Jagog layaknya orang-orang yang sedang mencari suaka.

 

Menurut keterangan seorang kawan, pada titimangsa tertentu, gelombang pasang besar yang datang kerap membuat jalur menuju Tanjung Jagog ini hilang sementara waktu ditelan permukaan laut. Jika sudah begini, tak ada pilihan lain bagi pengunjung yang datang kecuali menunggu sampai air laut kembali surut.

Maka dari itu, pukul satu atau pukul dua siang, adalah titimangsa yang disarankan jika anda ingin bergerak menuju lokasi Tanjung Jagog. Sebab pada waktu-waktu tersebut, permukaan air laut perlahan-lahan mulai surut, dan jalur menuju Tanjung Jagog biasanya sudah aman untuk dilewati. Saya dan kawan-kawan beruntung sampai di sana tepat pada waktunya, sehingga tak perlu menunggu sampai air laut surut terlebih dahulu.

Sekitar lima menit berjalan menyusuri bibir pantai yang berpasir, medan menuju Tanjung Jagog akan berganti menjadi bebatuan dan karang. Meski bisa dibilang kondisi medan relatif tak terlalu berat untuk dilalui, toh kita tetap harus menaruh waspada pada bebatuan yang kita pijak. Selain licin akibat terpaan gelombang air pasang, pada beberapa bagian juga terdapat batuan yang berlumut sehingga bisa membuat kita terpeleset kalau tak hati-hati menjaga pijakan.

Apalagi mengingat dalam rombongan kami ada seorang kawan yang membawa serta anaknya yang masih kecil. Arga, bocah kecil yang ikut bersama rombongan kami itu, tentu senang-senang saja menikmati perjalanan macam ini. Beberapa kali ia tertawa-tawa lepas, sementara bapaknya kudu susah payah mendekap bocah itu dalam gendongannya kala menapaki medan yang tidak mulus. Sesekali waktu kudu memanjat bebatuan yang besar, kali waktu yang lain harus mendaki kontur tanah yang sedikit menanjak.

 

Ketika akhirnya sampai di lokasi, yang kali pertama saya dapati adalah bebatuan berukuran raksasa dengan ujung sebelah kanan yang menyerupai badak bercula. Warnanya yang oranye kecoklatan kelihatan berkilap-kilap diterpa terik matahari. Sama sekali tidak nampak ada air terjun di sana. Sementara orang-orang yang telah sampai di sini lebih dahulu kelihatan memasang wajah-wajah yang menunggu dan penasaran.

Saya lantas bertanya kepada seorang Inaq-inaq (ibu-ibu), yang kemungkinan adalah penduduk sekitar sana, perihal keberadaan air terjun asin yang ramai diperbincangkan orang-orang itu. Dari keterangan yang diperoleh darinya, selama ia duduk di sana sepanjang siang ini, sejauh ini air terjun itu sudah muncul dua kali. Kontan saja saya jadi penasaran. Ini memang benar-benar sebuah air terjun asin, atau jangan-jangan hanya tetesan ingus yang sesekali waktu mengingtip keluar dari lubang hidung?

Tak lama, saya akhirnya tahu kalau air terjun asin Tanjung Jagog memang tidak selalu mengada setiap saat. Ia muncul pada kurun yang tak menentu. Tergantung bagaimana keadaan angin yang berhembus, juga amplitudo ombak yang berarak menuju ke sini. Saya lega. Ternyata ini memang benar-benar air terjun. Bukan ingus.

Usut punya usut, air terjun asin yang terdapat pada Tanjung Jagog ini memang bukan seperti air terjun pada umumnya. Jika biasanya sebuah air terjun terbentuk dari aliran sungai yang mengalir dari dataran yang tinggi ke permukaan yang lebih rendah dengan melewati sebuah jurang atau tebing. Pada Tanjung Jagog, air terjun yang ada justru terbikin dari gelombang besar air laut yang menghantam bebatuan raksasa yang bentuknya mirip dengan cula badak tadi.

Saking besarnya hantaman ombak itu, gelombang air yang pecah menumbuk bebatuan akan menghambur sampai kepada sisi batu yang sebaliknya. Hamburan air inilah yang kemudian membentuk grojogan, layaknya sebuah air terjun. Itulah kenapa Tanjung Jagog kemudian mendapat julukan sebagai air terjun asin. Sebab air terjun yang ada di sana, memang terbikin dari guyuran ombak air laut, yang tentu saja memiliki rasa “asin sejak dari dalam pikiran”.

Begitu mengetahui kalau air terjun yang dicari-cari itu akan muncul pada titimangsa yang tidak menentu, saya segera mencari posisi yang bagus untuk menunggu kedatangan momen tersebut dan mengambil angle foto. Kawan-kawan yang lain pun tak mau ketinggalan dengan bersegera mencari posisi duduk yang nyaman, serta terlindung dari panas matahari.

Tak beberapa lama, saat yang ditunggu datang juga. Diawali dengan gemuruh ombak besar yang datang bergulung seperti segerombolan serigala mencari mangsa, air terjun asin itu mulai menampakkan batang hidungnya. Orang-orang di sekitar saya bersorak-sorai seoalah-olah sedang merayakan tahun baru. Begitu ombak-ombak tadi mulai bertabrakan dengan bebatuan di hadapan kami, muncullah pemandangan ajaib seperti di bawah ini.

 

SAM_1257

 

Sebelum datang ke sini, sebetulnya saya sudah beberapa kali melihat penampakan air terjun asin Tanjung Jagog ini melalui foto-foto yang diunggah seorang kawan di akun instagram dan blog miliknya. Akan tetapi menyaksikan Tanjung Jagog secara langsung tetap saja memberi efek jaw-dropping dan decak kagum yang tak kurang norak daripada gestur ciao bella milik Syahrini.

Setelah puas menghabiskan waktu dengan membidikan kamera beberapa kali ke arah air terjun asin yang siang waktu muncul sekitar lima kali lagi, saya dan kawan-kawan menutup akhir pekan dengan meluncur menuju Pelabuhan Tawun, yang juga masih berada di sekitaran daerah Sekotong, untuk melahap beberapa ekor ikan bakar dan gurita sambal yang kelezatannya, rasa-rasanya, tak perlu saya ceritakan panjang lebar di sini. Enak betul.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

TERPOPULER

TERBARU

Defying “Gravity”

Suratku

Sendiri di Singosari

PNS Bukan Cita-Citaku

ARTIKEL TERKAIT