Selamat pagi, Sayang. Pagi ini, boleh ya aku mengenang kembali kisah kita? Mungkin kamu sudah bosan mendengarnya tapi aku tidak bosan menceritakannya.
Kisah kita dimulai sejak pertamakali aku melihatmu, kamu masih berseragam SMP, rambut dikuncir kuda, dan sedang kepanasan karena dijemur di lapangan bersama siswa baru lainnya. Kamu lebih peduli dengan matahari ketimbang celotehan kakak senior kelas duabelas yang selalu mencari kesalahan anak-anak baru. Berkali-kali kamu terlihat mengibaskan tangan ke wajah, berharap dapat menolak panasnya mentari. Namun diantara peluh dan atribut MOS yang menggelikan itu, kamu terlihat mempesona. Sebut aku berlebihan tapi kenyataannya aku masih ingat di mana tempatmu berdiri, yaitu di barisan ujung dekat pot tanaman yang kini sudah disulap menjadi taman kecil di depan ruang kelasmu dulu.
Beberapa kali aku berusaha mencari perhatian dengan mengunjungi kelasmu atau minimal agar bisa melihat wajah ceriamu. Bahkan hampir setiap kali ingin ke kantin atau kamar kecil, aku selalu mengambil jalan memutar demi melewati kelasmu. Berharap kamu melirik ke arahku. Ya, sekedar lirikan satu detik saja sudah bisa membuatku tersenyum hingga waktu pulang sekolah, lalu aku akan cemberut lagi sampai tiba kembali di sekolah keesokan harinya.
Di matamu, aku adalah sosok yang pecicilan dan hiperaktif, tapi kamu lihat sendiri saat beberapa kali kita mengobrol dulu, aku sering terdiam dan lebih banyak menunduk. Faktanya adalah siswa juara lomba debat ini telah mengalami degradasi intelejensi saat berdiri di hadapanmu, wanita yang sederhana dan sangat bersahaja.
“Lalu kenapa mas tidak berjuang mendapatkanku dari dulu?” Tanyamu pada suatu waktu yang hanya bisa kujawab dengan sunggingan. Klise memang, tapi alasanku adalah karena aku tidak memiliki keberanian mendekatimu saat itu. Ketika aku sudah mulai memupuk keberanian, kamu sudah berpacaran dengan orang lain. Tidak perlu digambarkan bagaimana perasaanku saat itu, aku pun sudah lupa. Aku lebih suka mengingat hal yang manis tentangmu.
Selepas SMA, aku kuliah di luar kota. Sedangkan kamu tetap bertahan di kota itu, sampai sekarang pun kamu masih di sana. Cukup lama kita berpisah dan tidak saling berkomunikasi. Aku menghargai hubunganmu dengan pacarmu sehingga aku menjaga jarak. Aku memulai hubungan dengan orang lain. Setelah itu muncullah kejadian lucu. Aku putus, kamu masih berpacaran, aku berpacaran, kamu putus. Hal itu terjadi beberapa kali dalam kurun waktu delapan tahun ini. Satu hal yang menjadi rahasia kecilku adalah dengan siapapun aku berpacaran, aku masih rutin memeriksa media sosialmu, itulah kenapa aku selalu tahu saat kamu masih berpacaran atau sudah putus.
Kemudian setelah lama sekali kita tidak berkomunikasi bahkan bertemu, kamu muncul tiba-tiba. Kamu melakukan hal kecil yang mengubah arah perjalanan hidup kita. Pada suatu sore, aku mendapat notifikasi kamu menyukai status yang kubuat di media sosialku. Aku riang bukan kepalang, bagai anak elang yang akhirnya bisa terbang. Tak perlu kumenimbang, aku langsung menghubungimu karena aku tak mau hilang peluang.
Leganya aku saat tahu bahwa nomormu masih sama dengan yang kau berikan sepuluh tahun lalu di depan kelasmu. Dari obrolan haha-hihi biasa lalu berlanjut saling menanyakan status masing-masing yang ternyata kita sama-sama baru putus. Wow alhamdulillah sekali ya.
Ada perubahan yang kurasakan pada dirimu. Kamu begitu menyenangkan sekarang. Bukan berarti dulu tidak menyenangkan, tapi dulu kamu dingin sekali. Aku menyalahkan kegiatanmu yang banyak berkutat di laboratorium sampai kupikir kamu sudah terkena reaksi kimia yang mengubahmu menjadi iceman. Sorry, icewoman maksudku.
Dari kisah kita, aku percaya bahwa selalu ada cara Tuhan untuk menyatukan dua insan yang memang sudah dituliskan pada kitab sebelum kehidupan. Kita yang terpisah ribuan kilometer dipertemukan dengan sebuah kejadian. Waktu itu aku yang sedang berada di kampung halaman kehabisan tiket pesawat dan terpaksa harus kembali ke perantauan dengan cara memutar dulu ke kotamu. Sebuah ketidaksengajaan yang disengaja. Tidak kusia-siakan kesempatan ini untuk mengajakmu bertemu. Kamu sempat menolak dengan alasan sedang ujian akhir. Tapi jika Tuhan sudah berkehendak maka terjadilah, ujianmu mendadak diundur di saat-saat terakhir. Kamu kesal karena sudah capek belajar, bagiku ini pertanda: semesta tak ingin kita berpencar.
Aku kaget saat bertemu denganmu kembali. Tujuh tahun tidak bertemu dan sekarang kamu berhijab panjang. Kamu bahkan tidak mau menggapai tanganku saat kuajak bersalaman. Selebihnya, aku masih melihat kecantikan yang sama dengan yang kulihat sepuluh tahun lalu.
Setelah pertemuan itu, komunikasi kita semakin intens dan mulai menyamakan visi masing-masing. Kita berdua memiliki masa lalu yang mirip, kita pernah sama-sama terjatuh, mengalami susahnya move on, lalu bangkit kembali dan membuka hati bagi yang baru. Kemudian sampailah kita pada tahap ini, kita diberi kesempatan untuk saling mengenal dan menyesuaikan satu sama lain. Kita sepakat untuk tidak menjalani romantisme picisan karena berdua sudah sama-sama mapan. Bukan mapan kebendaan tapi mapan rasa dan harapan.
Dalam hitungan jam ke depan, aku akan mencium keningmu di depan orang tua kita dan para saksi. Sebentar lagi, aku akan menebus dan merebutmu dari ayahmu. Sebentar lagi, akulah yang akan bertanggung jawab atas perjalanan panjang kita menuju jannah. Sebentar lagi, memahami kamu akan menjadi materi utama kuliah seumur hidupku. Bagaimana perasaanmu, Sayang? Gugupkah? Bahagiakah? Bisa tidurkah kamu tadi malam? Aku yakin kamu pasti menjawabnya dengan kata-kata andalanmu, “Biasa aja tuh.”
Dasar kamu. Aku sayang kamu.
Dari aku yang mencintaimu dalam ingat dan lupa.
Post Scriptum: Surat ini aku tulis karena tidak bisa tidur. Malam pertamanya kita tunda dulu ya, aku mau tidur cepat nanti malam.