PesiarSepi yang Riuh Redam di Fort Rotterdam

Sepi yang Riuh Redam di Fort Rotterdam

Sebelum pergi ke suatu kota, adalah hal yang lazim dan sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk mencari tahu tempat-tempat yang menjadi main attraction di sana. Waktu itu, hasil pencarian melalui Google memberitahu saya apabila hendak bertolak ke Makassar, jangan pernah lupa untuk mengunjungi sebuah benteng peninggalan Belanda yang cantik nan apik: Fort Rotterdam.

Rotterdam, kata itu seketika mengingatkan saya pada sebuah kota di Belanda. Sebuah kota yang mempunyai sebuah klub sepakbola yang sempat menjadi idola saya pada tahun 2000-an: Feyenoord Rotterdam.

Feyenoord pada masa tersebut memang cukup disegani. Di bawah pimpinan kapten Paul Bosvelt, lini depan Feyenoord berisikan duet legendaris mereka, John-Dahl Tomasson dan Pierre Van Hooijdonk. Pada tahun 2002, Feyenoord secara heroik mampu melaju ke final Piala UEFA, dan berhasil meraih gelar juara setelah mengalahkan Borussia Dortmund dengan skor 3-2 di Stadion De Kuip, di depan pendukung mereka sendiri.  Jika mengingat lagi momen-momen tersebut, saya jadi rindu pada masa-masa itu.

Well, saya tak tahu apa kaitan antara Rotterdam di Belanda dengan benteng yang ada di Makassar ini. Mungkin ketika melihat lanskap kota Makassar, pihak Belanda merasakan adanya kemiripan antara kota itu dengan Rotterdam sehingga menamainya dengan nama yang sama. Entahlah.

Akan tetapi, satu hal yang jelas, benteng ini terletak di daerah pantai. Cukup dekat dengan kawasan Pantai Losari. Seperti halnya kondisi tempat-tempat yang berada di ketinggian yang rendah (dari permukaan laut), sudah barang tentu hawa panas dan cuaca terik terasa mesra mendampingi Fort Rotterdam. Satu hal yang memukau saya (dan baru saya sadari ketika mendatangi benteng ini), ternyata langit kota Makassar seringkali bersih tanpa awan, biru sebiru-birunya. Ketiadaan awan ini di satu sisi tentu menyenangkan hati, tapi di sisi lain membuat kita tak terlindung dari terpaan teriknya sinar matahari. Satu lagi contoh dari keberadaan Yin & Yang dalam hidup ini.

Saat mengunjungi Fort Rotterdam, kebetulan saya pada waktu itu masih berstatus sebagai pengangguran. Hal tersebut memberikan fleksibilitas bagi saya untuk pergi ke mana saja, kapan saja—asal ada duitnya. Saya termasuk golongan orang yang cenderung tak menyukai keramaian, makanya saya tak begitu suka bepergian ketempat wisata tatkala hari libur. Keramaian itu memuakkan, sepi tak selalu berujung pada kesepian, terkadang justru membuat saya nyaman. Puji Tuhan status pengangguran ini membuat saya bisa jalan-jalan tanpa beban, tanpa perlu menunggu datangnya liburan. Begitu pula saat saya mengunjungi tempat ini bersama Andi Reza, teman saya. Kondisinya tak terlalu ramai, relatif sepi. Kami bisa bebas ke sana kemari, foto sana foto sini.

Agaknya, benteng ini terlihat seperti Margaret Thatcher: melambangkan sesosok wanita berkarakter. Terlihat cantik sekaligus menampakkan kekokohan, tak lekang diterpa perkembangan zaman. Selain terlihat atraktif di pandangan mata, Fort Rotterdam juga memukau ketika diabadikan melalui kamera. Saya agak terkejut saat melihat hasil foto yang berhasil diambil oleh kamera ponsel saya. Bagus banget, man! Birunya langit berpadu sempurna dengan warna krem dan merah marun benteng, sembari dibumbui hijaunya pepohonan. Ibarat wanita yang terlahir cantik alami, hasil foto-fotonya tak perlu banyak diedit, cukup lakukan crop di beberapa bagian yang terasa mengganggu.

Beberapa bangunan benteng kini telah dialihfungsikan sebagai museum yang memajang peninggalan nenek moyang, yang bakal membawa kita menyelami perjalanan kehidupan manusia pulau Sulawesi, tahap demi tahap. Kalau boleh berkomentar, isinya biasa saja. Saya justru lebih suka berjalan-jalan mengelilingi benteng, baik di halaman ataupun mengitari “atap” benteng. Ya, kita memang bisa naik kebagian atas benteng dan mengitarinya. Dari sana, bisa terlihat pula pemandangan benteng secara keseluruhan yang memanjakan mata. Tak ada salahnya untuk dicoba.

Akhir kata, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah quote yang mengandung unsur benteng (fort). Mungkin tak ada hubungannya, tapi tak apa, toh saya suka.

Fortitude is the marshal of thought, the armor of the will, and the fort of reason.” – Francis Bacon

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

TERPOPULER

TERBARU

Defying “Gravity”

Suratku

Sendiri di Singosari

PNS Bukan Cita-Citaku

ARTIKEL TERKAIT