Saya datang ke Lombok, jujur, tanpa disertai persiapan yang matang. Awalnya saya berniat pergi ke Bali, lantas dengan mudahnya terbuai ajakan teman yang hendak pulang ke kampung halaman. Lombok, pikir saya, kesempatan ini tak boleh terlewatkan. Tak banyak yang saya tahu tentang pulau ini. Satu hal yang pasti, saya dengar ada satu pantai terkenal yang cantik sekali, Senggigi.
Sore itu, saya membonceng Mahyudi untuk sampai ke sana. Jalanan kota Mataram sungguh serupa dengan Jawa. Bentuk rumah, trotoar, warung-warung, minimarket, bahkan komplek perkantoran di sana tak membuat saya merasa sedang berada di salah satu provinsi terpecah di Indonesia. Namun, segala kesan “biasa saja” yang saya dapatkan di kota seketika berubah ketika kami memasuki daerah pesisir. Jalanan yang naik turun dengan kualitas aspal hotmix super mulus plus “trotoar” dalam bentuk garis pantai yang aduhai, sungguh menentramkan hati. Di pesisir Lombok, pemandangan seperti ini akan jamak Anda jumpai dari pinggiran jalan.
Waktu itu kalender Islam menunjukkan bulan Ramadhan, sudah barang tentu pantai bukanlah tempat yang ramai tuk dikunjungi orang-orang. Begitulah kesan pertama yang saya dapatkan ketika menginjak lembutnya pasir di Senggigi. Tapi saya justru bersyukur, maklum saya tak begitu menyukai keramaian. Lagipula, bunyi desir ombak sudah cukup tuk mengusir sepi, bukan begitu?
Pasir yang semula putih berubah menjadi keemasan tertimpa semburat sinar matahari sore hari. Bagi orang Purwokerto yang matanya jarang meng-capture pemandangan sepecah itu, bagi saya sungguh indah sekali. Saya pun tak menggubris sedikit pun kata-kata yang keluar dari mulut Mahyudi, “Senggigi mah udah rame, besok aku ajak ke pantai yang masih perawan, masih jarang dikunjungi. Jelas lebih bagus dari ini!”. Kala itu saya berniat larut dalam euforia, tak peduli apapun yang keluar dari mulutnya.
Lombok sungguh luar biasa. Seperti halnya saat kita mendekati wanita, pada awalnya tampilan luar (mungkin) terlihat biasa saja. Namun begitu kita mulai mengenalinya, menyelami kepribadiannya, ia selalu mampu memberi kejutan tak terduga.
Pada akhirnya nanti, saya jadi tahu memang benar masih banyak pantai di pulau ini yang lebih pecah dari Senggigi. Tapi itu akan saya ceritakan nanti, ketika mood datang kembali.