Kalau ada orang bertanya, bangunan apa yang selalu mampu memukau saya, saya punya satu jawaban pasti: candi. Saya akan selalu heran bagaimana orang beribu tahun lalu mampu membuat sebuah bangunan dengan struktur serumit dan tampilan seindah itu. Tentang hal ini, saya punya satu cerita menarik. Waktu itu, saya sedang mengikuti sebuah diklat di lingkungan Kementerian Keuangan, tempat di mana saya bekerja. Di salah satu sesi, seorang pengajar melontarkan sebuah kalimat yang saya rasa akan selalu saya ingat seterusnya. Dia berkata begini, “Nenek moyang kita ribuan tahun lalu udah bisa bikin candi sebesar itu, kalau kalian sekarang cuma bisa buang-buang duit negara buat rapat & perjalanan dinas yang ga jelas outputnya, kalian harus malu. Lebih dari sekadar malu.” Kala itu, saya tertegun beberapa saat.
Malang belakangan ini, dikenal sebagai kota yang sedang berkembang, bersolek dalam derasnya arus pembangunan. Tapi sebenarnya, ia juga punya jejak peninggalan masa lalu yang tak kalah apiknya. Kita semua tahu, dahulu, Kerajaan Singosari yang didirikan Ken Arok itu pernah berdiri di sini. Tentu tak mengherankan bila sekarang banyak peninggalannya yang masih tersisa. Salah satunya yang akan saya bahas di sini, adalah Candi Singosari.
Seperti namanya, candi ini terletak di daerah Singosari. Sebelas kilometer arah utara Malang, sekitar satu jam perjalanan dari pusat kota. Bila kita menggunakan kendaraan pribadi, takkan sukar menemukannya. Aplikasi penunjuk arah seperti Google Maps atau Waze bisa dicoba. Kalau pun mentok, kita akan selalu bisa bertanya pada orang-orang sekitar. Tapi bila kendaraan pribadi tak tersedia, bisa menaiki angkot warna putih jurusan SKL: Singosari – Ketangi – Landungsari. Patokannya mudah: Pasar Singosari. Candi berjarak 500 meter dari sana.
Lokasi candi ternyata berada di tengah perkampungan penduduk, unik, saya pun tak menyangka. Begitu memasuki areal candi, kita akan disambut oleh petugas penjaga yang berada di posnya. Pertama-tama, kita diwajibkan untuk mengisi buku tamu lalu membayar sejumlah uang sebagai tanda masuk. Ya, tanpa tiket resmi, bayar seikhlasnya. Satu hal yang patut disayangkan ketika warisan leluhur semacam ini dikelola a la kadarnya.
Hanya terdapat satu buah candi besar di sana, terletak di tengah komplek. Sementara di sekelilingnya, kita akan menjumpai beberapa patung dan puing-puing bagian candi yang sudah tak utuh lagi. Saya kembali kecewa, ternyata para pengunjung bebas untuk duduk dan bercengkrama di puing-puing tersebut. Saya tak akan heran apabila dalam lima sampai sepuluh tahun lagi, puing dan patung tersebut sudah tak jelas lagi bentuknya.
Saya mencoba berjalan masuk ke bagian atas candi. Dari sana, akan terlihat gunung Arjuna berdiri dengan gagah. Lalu seperti yang selalu saya lakukan setiap kali mengunjungi candi, saya mencoba membayangkan, menarik gambaran visual akan kehidupan masa lalu di sekitar candi ini. Membayangkan bahwa ratusan tahun lalu, kita bisa bertapa di areal candi dengan pandangan menatap lurus ke gunung Arjuna. Sementara permukiman penduduk (yang sekarang tersebar di sekitar) dulunya masih berupa hutan lebat dan hamparan bukit hijau yang luas. Sungguh menenangkan pikiran.
Satu jam berada di sana sudah cukup memberi rasa puas bagi saya. Tapi lebih dari itu semua, selalu tersimpan harapan bahwa kelak keturunan kita pun masih punya kesempatan yang sama untuk menikmatinya. Tak hanya mampu membaca kisahnya lewat buku pelajaran tapi bisa secara langsung melihat fisik bangunan. Bukti sebuah rekam jejak peradaban.
Ya, semoga saja.