Romi berdiri di salah satu rel, menghadap tembok yang membatasi permukiman kumuh, lantas menoleh ke kanan, menatap kereta yang berdiam di stasiun. Ia belum memutuskan akan beranjak atau bergeming sampai kereta itu mencabiknya. Hatinya bertanya. Bila orang yang ia cintai berdiri di rel sepertinya, dapatkah rel itu menyatukan hati mereka yang terpisah jarak ratusan kilometer?
Keinginannya untuk pergi sudah membatu, tak lebih lunak dari kerikil di sekitar rel, tetapi tetap tak sanggup meredam kekalutannya. Ucapan Artika masih bergaung di pikiran.
“Sesiap apa kamu?” kata Artika di kursi piano kayu jati. Ia baru saja selesai memainkan Fur Elise milik Beethoven. Ia menoleh ke belakang, ke Romi yang merebah di kasur.
Romi sudah memutuskan. Ia beranjak dari rel, menendang-nendang kerikil yang menghalangi jalannya. Ia menoleh ke rel satu lagi, membayangkan Artika berjalan di situ dan mereka bergandengan tangan, menjaga keseimbangan, dan suara tawa Artika yang hampir jatuh tak bisa ia redamkan dari kepalanya. Ia menerobos kerumunan orang di gerbang, peron, gerbong, sesekali mengatakan permisi. Wajahnya berpeluh ketika ia mencapai tempat duduknya. Ia meletakkan tas di rak atas dan duduk di kursi samping jendela. Ia melihat ke luar, tak peduli dengan orang-orang yang masih berseliweran di koridor gerbong.
“Aku mengganti nama,” kata Romi sambil mengambil KTP dari dompet. “Sudah beli dua tiket Jogja-Semarang. Kita berangkat besok. Semua surat siap dengan identitas baruku. Kita tahu harus ada wali dari pihakmu, sedangkan kau sudah tak punya orang tua. Telah aku atasi masalah itu. Sudah ada pihak KUA Semarang yang bersedia jadi walimu.”
“Kenapa namanya Romi Gafaro?” Artika tertawa. Romi cemberut manja kemudian bibirnya memagut bibir Artika agar wanita itu berhenti bersuara. Artika menyambutnya.
Romi memejamkan mata, tetapi pikiran yang terus menyentak dada membuat bola matanya bergerak-gerak di balik tirai kelopak. Ia menggeliat, mencari posisi ternyaman, tetapi tetap saja terjaga. Pilihannya hanya duduk terdiam. Kereta pun singgah sejenak di stasiun berikutnya, kemudian datang sekelompok pengamen berpakaian sangat necis, tetapi tak cukup menarik untuk membuat Romi melirik. Ketika penyanyinya menyanyikan lagu buatan mereka sendiri, liriknya membuat jantung Romi mencelus, memaksanya menoleh. Aku ingat kau bercerita bagaimana kau bisa jatuh cinta padaku. Kemudian ia termenung lagi.
“Kenapa kau bisa jatuh cinta sampai yakin ingin menikahiku?” kata Artika yang memilih bersandar di dada Romi.
Romi yang masih terpejam dengan bibir mengerucut sehabis mengecup mencelik. Ia melepas pelukan, terlentang, menghela napas, serta menghadap langit-langit seakan mengajaknya berbicara. “Semua dimulai ketika aku kecil.”
***
Romi berjalan sendirian berseragam merah putih, melangkah lebar seperti melompati selokan, dan menunduk. Kedua tangannya menggenggam pegangan tas ranselnya yang memantul-mantul karena kebesaran. Wajahnya tertutup topi. Di belakangnya lima anak laki-laki bertepuk tangan dan bersorak dengan suku kata terakhir yang dipanjangkan, “Anak tukang mabok! Anak tukang mabok!”
Mereka ikut berbelok ke gang, membuntuti Romi meskipun tak mengarah ke rumah mereka. Bibir Romi bergetar, matanya memanas, sebulir air mata meleleh. Romi menyekanya dan menahan diri sampai mereka mengganti sorakan, “Anak wanita nakal! Anak wanita nakal!”
Romi berhenti, dengkulnya gemetaran. Ia berbalik dan berteriak dengan suara bergelombang. “Kalau pun ibuku memang begitu, setidaknya ibuku tidak punya anak nakal seperti kalian!”
Mereka kabur sambil tertawa. Romi berlari pulang, mendobrak pintu tanpa mengucap salam, menjatuhkan tas, dan dengan sepatu masih terpasang berlari ke dapur mencari ibunya. Ia memeluk ibunya dan bercerita sambil menangis. Romi mereda, ibunya berjongkok, menatap matanya, dan tersenyum sambil menyeka air matanya.
“Mereka cuma iri. Karena mereka tidak punya ibu yang mencintai mereka sebesar cinta ibu sama kamu.” Sang ibu memeluknya lagi, kemudian mengecup pipi kanan kiri dan keningnya, merekahkan senyum di bibirnya lagi. “Ada satu lagi. Pasti kamu tambah senang.” Sang ibu tersenyum. Mata Romi cerah karena penasaran. “Besok bapakmu mampir.”
Romi cemberut, mendorong ibunya sampai terjerembap, dan kabur ke kamar.
Sang penyanyi menggoyang-goyangkan plastik bekas bungkus permen di depan Romi. Uang-uang logamnya bergemerincing. Romi menoleh, tak tahu apa mau orang itu, kemudian tersadar dan mengangkat telapak tangannya, serta mengucapkan maaf. Sang penyanyi pun melenggang, mencari peruntungan dari penumpang lain. Romi kembali memalingkan wajah ke jendela.
Pintu diketuk. Sang ibu sedang kewalahan memasak ikan yang minyaknya muncrat-muncrat dan berdesis nyaring sampai membuatnya tak mendengar suara ketukan. Romi menghampiri, perutnya keroncongan. Ia meminta disiapkan makanan, tetapi masakan belum selesai. Ketika orang itu menggedor sampai seperti hendak mendobrak, sang ibu tersadar dan memintanya membuka pintu. Baru saja kuncinya dibuka, pintu terbanting, dan orang itu marah-marah kepada Romi. Bapaknya ternyata.
Lelaki itu menerobos masuk, menyenggol Romi hampir jatuh. Ia duduk di kursi makan dan menggebrak meja, kelaparan. Sang ibu segera menyiapkan kopi dan bolak-balik menyiapkan makanan serta sendoknya.
“Aku pikir Mas datang habis zuhur,” kata sang ibu seraya memadatkan nasi di piring untuk suaminya. Lelaki itu malah mengumpatinya.
Romi menarik-narik baju ibunya dan meminta disiapkan juga, tetapi wanita itu sibuk memijiti pundak bapaknya sehingga menyuruhnya mengambil sendiri. Romi terdiam memandangi bapaknya, pergi ke dapur, menuangkan minyak panas bekas menggoreng ikan ke gelas, lantas membawa gelas itu dan menyiramkan minyak itu tepat ke wajah bapaknya.
Romi yang hampir tertidur kelelahan tersentak bangun ketika sang kondektur mencolek untuk memintanya menunjukkan karcis. Ia merogoh dompet, mengambil dua lembar karcis, dan menatapinya. Ia memberikan satu kepada kondektur untuk dilubangi, karcis untuk Artika ia sobek kecil-kecil lalu dibuang melalui jendela, berharap sakit hatinya ikut tersebar ke udara kemudian terurai di tanah.
Romi menunjukkan bekas lukanya. “Aku tak mau lanjut kalau kamu tidak ikut bercerita bagaimana awalnya kamu mau menerima cintaku.”
Artika protes, tetapi Romi tetap enggan. Artika pun mulai bercerita. “Kamu tahu aku sangat mencintai anakku.”
***
Artika sedang menerima tamu, seorang bapak berkumis berperut tambun. Fandi dikurung di kamar. Lelaki itu duduk berseberangan dengan Artika, tetapi pindah jadi berdempetan. Artika bergeser, sedangkan lelaki itu terus mendekat. Tangannya berusaha merangkul Artika. Matanya mengerling-ngerling. Bibirnya memuji kecantikan Artika lantas mendekati dan mengecup pipi Artika. Artika mengerjap tahan-tahan. Lelaki itu menggerayangi leher Artika dan terus turun. Ia berdiri, melepaskan ikat pinggang, dan membuka ritsleting. Artika berdiri, mengusirnya, dan kabur ke kamar Fandi.
Fandi kebingungan. Ibunya yang sengaja mengurungnya membuka pintu dan datang berurai air mata. Fandi mengambil segelas air, memijiti tangan ibunya, tanpa menanyakan apa yang membuat wanita itu menangis, ia mengusap punggung ibunya dan memberikan pelukan. Artika menatap mata Fandi dengan rasa syukur memilikinya.
Romi bergeming, menatapi pemandangan luar, gerakan semu dari tiang-tiang listrik dan pohon-pohon, berharap stasiun-stasiun selanjutnya segera terlewati. Ia tak peduli dengan keributan di gerbong, dengan orang-orang yang mulai kemak-kemik karena seorang anak kecil menangis menjerit-jerit.
“Masih panjang ceritanya, tapi aku mau dengar lanjutan ceritamu,” kata Artika. Romi mengecup bibirnya lagi sebelum bercerita.
“Sebelum kamu ada orang lain,” kata Romi. “Ternyata cinta semu karena kamulah cinta abadiku.”
***
Saat SMA, Romi mengenal cinta. Nisa, nama perempuan itu. Selama setahun ia mengubur perasaan tersebut. Tanpa ia sadari bibitnya bertunas, muncul ke permukaan, dan bertumbuh kembang. Setiap Romi melihat Nisa, jantungnya seperti sebuah granat yang cincin pemicunya ditarik malaikat kemudian meledak. Bahkan perutnya terasa kembung. Hari itu puncaknya ketika darah Romi bergejolak dan menciptakan sensasi ekstasi sampai ia berani mendekati Nisa sesusai sekolah dan, meskipun kepalanya tertunduk, menyatakan cinta serta memintanya jadi kekasih.
Nisa tercengang sejenak dan tertawa. Lantas ia terdiam ketika Romi mengatakan bahwa ia serius. Nisa langsung dengan tegas mengatakan tidak bisa membalas cintanya, apalagi menjadi seorang kekasih. Romi mengaku tidak peduli dengan status mereka berdua, tetapi Nisa mengatakan sekali lagi bahwa tak mungkin seorang murid memiliki hubungan istimewa dengan seorang guru, apalagi yang bersuami dan punya dua anak. Nisa menepuk bahu Romi lantas pergi.
Romi menahan tangis, tetapi perutnya tiba-tiba mual dan memuntahkan isinya. Di lantai berceceran bubur yang merupakan nasi berlendir, telur yang menyeruakkan aroma amis, air bening, dan empedu kuning kehijauan. Teman-temannya yang melihat, bukannya menolong atau setidaknya memanggil guru, malah mendelik jijik dan kabur, meninggalkan Romi yang terbungkuk dan terjongkok-jongkok menahan mulutnya agar berhenti muntah.
Ketika tahu, ibunya hanya tersenyum dan berkata, “Ibu bersyukur Nisa menolak kamu. Kalau dia menerima, ibu akan sangat cemburu. Karena orang lain bisa menyakitimu, kecuali ibu.” Ia mengecup pipi Romi, juga keningnya.
Romi mengembalikan sebungkus permen jahe dan asam yang ditawarkan pedagang yang mampir di kursinya. Ia mengambil telepon genggamnya, membuka kontak, mengetik nama Artika di situ, lalu mendadak terdiam sejenak. Segera ia hapus ketikannya tadi dan kembali termenung memandangi jendela kereta.
“Lalu bagaimana lanjutan ceritamu?” kata Romi.
“Fandi tumbuh menjadi laki-laki hebat,” Artika tersenyum. “Aku bangga sekali padanya.”
***
Fandi menerobos pintu sambil berteriak memanggil Artika. Tangannya mengacungkan secarik surat. Ketika Artika muncul, Fandi memeluknya dan menceritakan bahwa ia diterima di perguruan tinggi. Artika menangis haru, juga tersenyum. Ia sampai terduduk dan terisak, kemudian memeluk Fandi, mencium pipi dan keningnya. Prestasi Fandi begitu bagus sampai mendapatkan beasiswa hingga lulus. Artika pun mendadak bisu ketika Fandi harus meneruskan pendidikannya di kota lain.
“Fandi tak bisa pisah,” kata Fandi sambil memeluk Artika.
“Kamu harus mandiri,” kata Artika seraya menahan tangis. Ia akan berusaha sekuat mungkin menjauhkan Fandi dari segala sesuatu dan orang yang dapat merusak masa depannya.
***
Artika tiba-tiba memalingkan wajahnya dari Romi dan duduk membelakangi. “Aku tak bisa menikah denganmu. Akan banyak hal yang dikorbankan dari masa depanmu nanti.”
Romi terlonjak duduk, kaget bukan kepalang. Ia bertanya kenapa tiba-tiba seperti itu. Sampai ia mengguncang pundak Artika dari belakang pun, pertanyaannya tak dijawab. Setiap kali ia menatap mata Artika, wanita itu selalu memalingkan wajah.
“Lebih baik kamu keluar dari sini,” kata Artika.
Romi menyerah. Ia menyambar tasnya dan beranjak. Ketika ia hendak melangkahi ambang pintu, Artika memanggilnya lagi. Ia berbalik dan tersenyum, berharap Artika akan menarik kata-katanya.
Kereta berhenti di Stasiun Semarang. Romi menunggu semua orang meninggalkan gerbong, sampai ia benar-benar sendiri. Ia bangkit, menarik tasnya dari rak, dan menggendongnya di belakang. Namun sebelum melangkahi pintu gerbong, ia terhenti, teringat akan ucapan Artika setelah memanggilnya.
“Mungkin kita takkan pernah bisa bersama sebagai suami istri, tetapi cintaku padamu tak pernah berkurang sedikit pun dari dulu sampai sekarang,” Artika tersenyum.
“Jadi, masih bolehkah aku memanggilmu Fandi?”
Romi melangkah ke peron, mengabaikan portir dan orang-orang yang menawarkan jasa mereka untuk mengantar, lantas meninggalkan stasiun. Sebisa mungkin ia menghindari stasiun, melupakan peluit kereta, atau suara mesin yang khas saat kereta baru jalan. Ia takkan pernah berdiri di rel kereta lagi. Berharap agar rel yang menghubungkan hatinya dan Artika segera berkarat dan retak tak tersatukan lagi.