Siang itu lumayan panas. Hiruk pikuk khas terminal terhampar di depanku. Stasiun Nganjuk, seperti biasa, sibuk dengan rutinitasnya sendiri. Sekitar pukul 10 pagi aku sudah sampai di sini. Pukul 8 pagi kurang aku berangkat dari Terminal Madiun.
“Kediri.. Kediri.. Tengah kosong,” seru seorang kernet bis. Langsung saja aku berlari menghampiri bis tiga perempat itu, segera masuk dan memang mendapati bagian tengah kosong. Tapi yang dimaksud kosong adalah ruang kecil di antara kursi-kursi sebagai tempat berjalan orang. Kursinya sendiri terisi semua. Kalau nggak kosong, mau lewat mana para penumpang naik turun. “Kernet geblek,” batinku mengumpat. Aku hanya berani membatin, soalnya kalau sampai terucap, bisa ribut sama dia. Bukannya nggak berani berkelahi, hehehe. Aku ingat pesan guru Fisika SMA—Pak Budi namanya—berkata, “kalian boleh berkelahi, tapi dengan orang yang punya masa depan. Jangan pernah berkelahi dengan orang yang nggak punya masa depan. Pasti mereka berani mati. Wong kalau mati nggak ada yang menangisi,” begitu pesannya suatu saat. Aku hanya tersenyum sambil berpikir, memangnya kalau mau berkelahi harus ditanya dulu, “Sampeyan punya masa depan apa nggak, Mas?” hehehehe. Tapi setidaknya itu nasihat yang bagus.
Masa depan? Hmmm setidaknya aku lelaki bermasa depan cerah saat itu. Lelaki paling dicari di kampung halamanku. Ande-ande lumut versi 90-an, yang menjadi “most wanted boy” para gadis. Hehehe nyombong sedikit bolehlah. Bagaimana tidak, sebagai mahasiswa Prodip III Keuangan yang terkenal, sudah kuliah nggak bayar, lulus pun sudah dijamin jadi pegawai. Opo ora ngeri, nda??? Wkwkwk… setiap pulang ke Madiun, lirikan-lirikan para calon mertua selalu bersinar seperti lampu halogen ke arahku. Jiaaaan, manusia prospektus pada jamannya. Hwahahaha opo maneeeh iki.
Untungnya 15 menit kemudian ada beberapa penumpang yang turun. Segera bergegas mencari kursi yang kosong, tepat di sebelah bapak tua, usia sekitar 60an. “Permisi, Pak,” ucapku penuh santun. “Oo, monggo, silakan!”, jawab beliau nggak kalah santun. Suara khas kebapakan yang kudengar, lembut dan berwibawa.
Bersamaan dengan itu, beberapa pedagang asongan ikut naik. Mereka menjajakan berbagai macam makanan kecil, seperti tahu, kacang, minuman, dan lain-lain. Kebetulan saat itu lagi haus. Segera kupanggil seorang pedagang asongan. “Mas, es teh satu ya. Piro?”, tanyaku sambil mengambil uang ribuan di saku. “Dua ribu mas,” jawabnya sambil memberikan sebungkus plastik es teh kepadaku. Aku beri uang lima ribuan, dia sibuk mencari uang kembalian dengan jari tangan yang tak lepas dari rokoknya. Hmmm… ‘kebodohan’ yang sering kulihat di negeri ini. Sudah susah cari duit, begitu dapat langsung dibakar. Padahal ratusan ribu jiwa melayang setiap tahunnya gara-gara barang satu ini. Tapi kan jutaan jiwa lainnya dihidupi dari rokok setiap harinya. Trus gimana? Banyak mudharatnya apa manfaatnya? Yo mboh… Bukan urusan saya!
Perjalanan dari Nganjuk ke Kediri bisa ditempuh kurang lebih 1,5 jam.
“Mau ke mana, Dik?” suara lembut itu sedikit mengagetkanku.
“Kediri, Pak. Ada kondangan di rumah paman,” jawabku. “Bapak sendiri mau ke mana?” tanyaku.
”Sama, saya juga ke Kediri, menyambangi cucu.”
“Waah, masih gagah begini Bapak sudah punya cucu,” aku berbasa-basi. Beliau pun hanya tersenyum, pasti sudah sangat paham basa-basi saya.
“Masih kuliah ya? Kuliah di mana?” tanya beliau. Ternyata namanya adalah Pak Mardi. Tak sopan rasanya kalau tidak menanyakan nama beliau.
“Iya Pak, masih semester 5. Saya kuliah di Prodip III Keuangan,” jawabku. Nama kampus yang masih aneh di telinga sebagian masyarakat.
“Waaah.. bagus itu. STAN kan? Yang di Jakarta itu? Wah, masa depan sudah terjamin. Jurusan apa, Dik?”
Tuuuuuh kaaaan, apa saya bilang. Masa depan terjamin! Bapak ini aja tahu. Hwahahaha… tapi… STAN??? Jurusan apa???? Maaf Pak, saya di Prodip, bukan STAN. STAN itu ya akuntansi, saya di Prodip III PBB. Hadeeeeh, satu lagi ‘kebodohan nasional’ terpapar di depanku. Ingin kujelaskan panjang lebar, tapi buat apa. Toh sama-sama pria paling dicari di kampung masing-masing, hehehehe…
“Iya Pak, tapi saya yang di Malang kuliahnya. Saya di PBB Pak. Pajak Bumi dan Bangunan,” senyum tetap tersungging di bibirku, walau sedikit mangkel.
“Wow di Pajak ya. Pasti banyak duit nantinya. Kan tempat basah tuh. Kalau punya anak perempuan, sudah tak ambil mantu kamu. Hehehehe…” bisa bercanda juga Bapak ini. Beraaaat Maaan, beraaaat. Belum-belum sudah dicap banyak duit, tempat basah, dan lain sebagainya. Sepertinya masyarakat memang banyak yang memandang seperti itu. Nggak tahu benar apa nggak. Mboh wes, sak karepmu.
“Saya punya adik sepupu yang kerja di Pajak. Sekarang di daerah Sumatera sana,” beliau melanjutkan pembicarannya. Saya mendengarnya baik-baik. “Sudah 20 tahun lebih dia bekerja di Pajak. Kalau nggak salah sudah setingkat manajer atau apa, setingkat di bawah Kepala Kantor.”
“Kepala Seksi, Pak,” Aku menyela.
“Iya, mungkin seperti itu, saya kurang tahu. Tapi Dia itu guwob##kk!”
Bungkus plastik es tehku hampir jatuh, aku pun tersedak, mendengar kata yang baru saja diucapkan Pak Mardi. Tapi aku diam saja sambil kupandangi mimik serius di wajahnya.
“Masak sudah kerja 20 tahunan di Pajak nggak punya apa-apa. Rumahnya tipe 36, mobilnya pun mobil tua. Padahal seperti Adik bilang, dia itu Kepala Seksi,” kupandangi wajah sepuh itu, yang sedikit mengeleng-geleng keheranan.
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan, benar-benar tidak tahu. Sedemikian ‘hebatkah’ penilaian masyarakat pada pegawai pajak. Aku pun tidak berani menyalahkan Pak Mardi. Mungkin dia pernah melihat sebagian lainnya yang hidup berkecukupan. Jujur, dulu aku juga tidak tahu saat disodori formulir saat pendaftaran di STAN/Prodip Keuangan. Aku bingung, ternyata ada beberapa pilihan, sesuatu yang tidak aku ketahui sebelumnya. Dan tanpa pikir panjang, aku melingkari kata ‘PAJAK” di formulir itu. Kenapa? Ya mungkin seperti ‘harapan’ Bapak itu ke adik sepupunya. Aku sendiri belum tahu bagaimana kehidupan pegawai yang sesungguhnya, karena saat itu aku baru mulai PKL di KP PBB Magelang. Namun kata Pak Mardi sungguh membuat aku tersentak. Jadi pintar tidaknya pegawai pajak dihitung dari seberapa kaya mereka. Sebagai mahasiswa saat itu, semangat dan idealisme masih begitu tinggi. Setidaknya, aku mendapatkan ‘ilmu’ baru dari perjalananku ke Kediri saat itu. Ilmu tentang pandangan sebagian masyarakat terhadap orang-orang seperti saya, yang nantinya menjadi pegawai.
“Allahu Akbar Alaaaaahu Akbar…” terdengar suara adzan Maghrib dari Masjid dekat rumah dinas ini, rumah dinas Kepala Seksi tempat aku menumpang. Banyak yang tidak mau tinggal di sini karena letaknya yang jauh dari kantor.
Sambil terbayang-bayang kata Pak Mardi, aku dengarkan suara adzan yang indah mengalun. Hmmmm… percakapan di bis itu….tak terasa sudah 9 tahun lamanya. Sambil merapikan sarung dan kemeja, aku pandang cermin di depanku.
Sebodoh atau sepintar apa aku sekarang…