Kita adalah makhluk-makhluk emosional yang semakin renta. Kian beragam emosi yang pernah kita sua, yang mana mereka serupa, hanya berbeda di satu titik rasa. Terlupakanlah bahwasanya dewasa tak cukup membedakan baik dan durjana, ujung satu dan ujung dua. Semua emosi dianggap sama begitu saja. Rasa suka, empati, bahkan iba kepada lawan jenis pun disamaratakan sebagai cinta. Hati itu bagai palung nan elusif dan menyesatkan. Di dalamnya kita terjebak tak tahu jalan. Sementara kedewasaan serupa cahaya yang mengulurkan jari-jari harapan. Mengapung saya ditariknya dari laut dalam, menyadari sering kali kita keliru akan hal yang kita pikir telah membuat kita tenggelam.
Kita adalah makhluk-makhluk penuh impian. Mereka berjingkat membentuk tingkat, memaksa kita merangkak menuju puncaknya. Di kedua sisi tiap anak tangganya kematian, di balik pucuknya pun akhir kehidupan. Pilihan kita hanya dua, menunggu di satu tataran sampai terpeleset ke jurangnya atau mati di lapisan tertinggi. Pernah kita sekali atau dua kali tersendat di satu tingkatan. Berjuang setengah nyawa untuk memanjat, tetapi tangan kita terlalu lemah untuk mengangkat semua beban dalam perjuangan. Terjatuh kita. Meringkuk. Mengemis pada kenyataan. Menderita sendiri. Selalu berpikir kita hanya bisa bahagia jika kita keinginan itu tercapai. Tak ada cara lain untuk bahagia. Itu harga mati.
Pertengahan tahun 2008 saya berhasil menyelesaikan novel pertama. Sebuah kebanggaan, sebuah prestasi sederhana dari aktualisasi coba-coba, di tengah kepasrahan berkuliah di tempat yang tidak diinginkan dan timbunan perasaan sebagai pecundang yang tak berani mengejar angan-angan. Saya tahu perjuangan tak boleh berhenti di situ saja, maka saya mengirimkannya ke penerbit. Sepanjang penantian saya memupuk harapan yang justru ikut menumbuhkan gulma-gulma khayalan. Gulma itu mengakar dan mencengkeram pikiran sampai saya merasa akan berbahagia hanya jika penerbit menerima naskah tersebut. Saya ingin melihat naskah itu dalam bentuk buku, dengan sampul yang menarik perhatian khalayak, dengan sinopsis yang menggugah keingintahuan, dengan aroma kertas ketika pertama dibuka. Saya ingin membaca resensi dari orang-orang yang membuat pembacanya berdebat membicarakan maksud saya sebagai penulis, sementara saya hanya tersenyum lalu menengguk kopi memerhatikan perkelahian mereka. Saya ingin menelan sindiran kritikus, menerima ilmu yang akan meningkatkan kualitas tulisan saya dengan cara menggetirkan. Namun semua itu berawal dari keinginan dasar, saya hanya ingin tulisan saya dibaca banyak orang.
Awal penolakan saya tanggapi dengan lapang dada. Keikhlasan bermunculan hasil mengulik-ulik pengalaman penulis sekaliber J. K. Rowling dan Stephen King yang pada debutnya ditolak puluhan penerbit. Tanpa menyerah saya kirimkan lagi naskah itu ke penerbit lain. Bersama dengan amplopnya, saya serahkan kunci kebahagiaan itu pada mereka. Penantian pun berlangsung detik demi detik. Detakan jarum jam begitu memekakkan telinga di tengah sunyinya penyongsongan. Menunggu kabar dari mereka menjadikan saya seperti gadis desa yang ditinggal suaminya berperang dan tak pulang-pulang. Cemas, kalut, sering melongok dari pagar menunggu kedatangan. Obatnya hanya khayalan indah ketika semuanya sesuai harapan, tetapi tubuh menggigil ketika terlintas bayangan kegagalan. Di sore yang temaram, semua khayalan itu beterbangan melewati diri saya, secepat angin topan membumiratakan kepercayaan diri yang tingginya bisa mengoyak langit, mengubur saya dalam reruntuhan bersama kekecewaan. Penolakan itu datang lagi.
Untuk menjadi sembuh bukanlah waktu yang piawai, kita saja yang sudah terbiasa berawai. Saya pertanyakan lagi, apakah benar saya ingin diterima penerbit hanya agar tulisan saya dibaca banyak orang? Hanya pengujian yang dapat mengenyahkan keraguan pada diri sendiri. Saya jadikan naskah itu PDF, saya sebarkan di dunia maya, banyak yang mengunduh dan membacanya, karena saya pikir itu keinginan saya, karena saya pikir itulah pemantik rasa bahagia saya. Mengambil napas sejenak, api kebahagiaan itu menyala, tetapi sinarnya tak secemerlang yang saya bayangkan. Rasa bahagianya tak semegah khayalan. Mentah-mentah saya bantah diri ini, menampar diri sendiri yang pandir tak tertolong. Perasaan sakit hati yang dulu saya rasakan bukan karena keinginan saya belum tercapai, melainkan karena saya tidak bisa menerima penolakan. Dan tak adanya kesempatan untuk mengganggu gugat mereka, untuk memaksa mereka mewujudkan keinginan saya membuat saya lebih merana, lebih merasa jadi pecundang yang tak bisa mengubah keadaan. Pecundang dalam kampus. Pecundang juga dalam impian sendiri. Lebih baik saya didepak wanita karena akan merasa punya kesempatan mengganggu gugat perasaannya yang menolak saya. Meskipun saya tahu bahwa itu bukanlah cinta – sama saja – karena cinta tak pernah mengganggu gugat. Itu hanya saya yang tak bisa menerima penolakan.
Maka setiap kali saya merasakan sesuatu, cinta, benci, marah, kesal, malu, atau gengsi, saya selalu menguji diri sendiri apakah yang menjadi pemantik rasa itu. Perasaan itu penipu ulung. Obat untuk menyembuhkannya jadi bahagia sering tak tepat karena salah diagnosis. Dan pertanyaan terbesar teruntuk kerinduan. Baru-baru ini saya sadar sebenarnya kita sering salah merindu. Kita tak pernah benar-benar rindu pada satu orang pun, yang kita rindukan hanyalah rasa yang timbul ketika bersamanya, yang bisa diperoleh dari orang lain. Kita saja yang memilih, untuk menerima orang lain pembawa pemantik rasa yang sama, atau langsung buru-buru mendirikan tembok perlindungan untuk mencegah masuk pemantik itu.
Pun saya pribadi masih bertanya-tanya ketika kita menyatakan rindu dengan bulan Ramadan dan lebaran. Bila saya tanya bagaimana perasaan rindu itu, dijawab dengan lantang yang dirindukan buka puasa bersama, sahur dengan keluarga, ibadah rutin ke masjid, kumpul semua saudara, kembang apinya, takbiran menguasai langit, uang berhamburan. Benarkah kita rindu pada Ramadan dan lebaran untuk sesuatu yang sebenarnya bisa saja dirasakan di hari-hari biasa? Bagaimana bila kita melewatinya di negara di mana tak ada tradisi-tradisi itu? Bukankah itu yang jadi alasan kita ingin merayakan bulan puasa di kampung halaman, tempat pemantik rasa kerinduan itu berada? Silakan membantah karena jumlah pahalanya berbeda, tetapi tetap harus jujur pada diri sendiri kalau saja yang membuat kita rindu hanyalah semua tradisi di masa kanak-kanak.
Dapat membedakan pemantik rasa memudahkan kita menyalakan api bahagia. Karena seharusnya untuk berbahagia itu sederhana, kita saja yang memperpelik syaratnya.