Malam ini aku akan pulang ke rumah dengan mulut yang penuh aroma anggur. Ajakan teman yang lama sudah tak bertemu ternyata membuat aku melupakan janjiku untuk tidak mengeluarkan aroma anggur ketika pulang. Seingatku kami hanya menghabiskan beberapa gelas saja sebenarnya. Bukan meminum sampai mabuk seperti ritual pada waktu usia masih sama-sama muda dulu.
Apa saja yang terlintas di masing-masing kepala, keluar untuk menjadi bahan pembicaraan malam ini, berakhir menjadi kejutan-kejutan kecil yang biasanya ditutup dengan satu tenggak kecil tequilla. Entah berapa kali kami mendengar berita-berita yang patut dirayakan itu, aku pun lupa untuk menghitung sampai pada saat membayar tab tagihan.
–
Aku berjumpa dengannya secara tak sengaja ketika turun dari angkutan umum yang biasa kunaiki ketika pulang bekerja. Aku memutuskan turun karena satu hal penyebab yang baru kali ini melewati batas toleransinya. Aku tidak tahan dengan kesedihan yang ada di dalam angkutan tersebut. Supir angkutan yang seperti kehilangan kesadaran memburu tangan-tangan terjulur yang memberhentikan. Pengamen kecil bertelanjang kaki yang mengaku belum makan tiga hari. Bapak penjual bunga yang membawa tanamannya dalam panggulan. Seorang ibu yang sedang hati-hati mengeluarkan recehan untuk membayar ongkos dari dalam tas kucel-nya. Seorang wanita yang kulihat dadanya bergoyang naik turun mengikuti jalanan yang tak rata. Hingga sepasang suami istri yang tampak tidak terlalu sering berbagi cerita. Hatiku sungguh terasa muak. Tambah lagi, aku tak sengaja melihat jelas dari jendela ketika angkutan tersebut melewati pemulung kemasan minuman plastik yang sedang memegang tangan anaknya yang tampak tidak peduli dengan sekitarnya. Kulihat juga satu tangan anak kecil tersebut memegang sebuah boneka berbulu kumal yang matanya sudah tidak lagi lengkap.
Kota ini sungguh penuh dengan ironi. Ketika aku turun dari angkutan mendadak aku mendapat makian dari pengemudi bergaya dari sebuah sedan mewah karena menghambat laju kendaraannya. Aku spontan meminta maaf dengan sedikit senyuman saja. Namun ternyata kali itu aku baru saja tahu kalau ternyata senyum meminta maafku diartikan sebagai sebuah tantangan untuk beradu argumen oleh sang pengemudi yang bergaya tersebut. Aku tak menyadari bahwa sang pengemudi telah memarkirkan kendaraannya lalu menghampiriku penuh dengan pertanyaan bercampur emosi.
“Bung tak punya otak atau gimana sih,” tiba-tiba aku mendengar kata-kata terbebut yang diucapkan sambil mencontreng bahuku.
Aku membalik badan. Kulihat sang pemgemudi sudah berkacak pinggang.
Dalam hitungan waktu ketika aku membalik badan, aku menyadari bahwa sang pengemudi bergayalah yang telah menghardikku dari belakang.
Ketika sudah berhadapan dengannya, aku langsung menangkupkan kedua tangan sambil meminta maaf. Pandanganku tetap seperti biasa ketika merasa melakukan kesalahan. Menuju ke kaki atau benda-benda di sekitar tanah yang kupijak. Aku memang pengecut yang tak berani menatap langsung ke mata lawan bicara yang sedang mengeluarkan emosi. Kupikir hal tersebut bisa mengurangi aura negatif yang keluar pada saat demikian.
“Maafkan saya mas, silahkan lanjutkan perjalanan,” tukasku sopan supaya sang pengemudi kembali ke bangku pengemudi di mobilnya yang nyaman itu.
“Kau bukannya teman sekelasku dulu ya,” terdengar lagi sang pengemudi bertanya.
Aku menengadahkan muka, melihat dengan seksama siapakah kiranya sang pengemudi yang mengaku mengenalku itu.
“Kau masih saja sopan seperti dulu, Kawan,” katanya menambahkan.
Aku tak menyadari bahwa lawan bicaraku kali ini adalah seorang yang kukenal dulu sewaktu sama-sama duduk di bangku sekolah. Kami terpisah ketika aku mulai mendedikasikan diriku sebagai abdi negara untuk republik ini selepas diploma bertahun silam. Pernah kudengar kabar terakhir bahwa dia menempuh pendidikan di luar negeri.
Setelah bersalaman dan tegur sapa singkat kami sepakat untuk langsung menuju bar terdekat yang berada di bagian selatan kota ini. Bagaimanapun reuni mendadak ini harus dirayakan, pikirku mencari pembenaran seakan melupakan janjiku untuk tidak akan pulang saat mulutku beraroma anggur.
Cerita demi cerita yang bergulir di meja bar malam itu, merupakan momen di mana kami sama-sama melatih ingatan. Kuingat beberapa kali kami terlihat berpikir keras berusaha mengingat siapa nama guru fisika kami dulu. Atau sekadar siapa yang duduk di bangku sebelah siapa. Dan gawatnya ketika sama-sama berhasil memecahkan sebuah memori yang datang lagi, seketika itu pula sang teman lama melambaikan tangan ke pelayan meminta tambahan gelas minuman untuk ditenggak bersama. Merayakan daya ingat yang entah benar atau hanya kesepakatan bersama untuk tidak salah.
Aku merasa sedikit sudah terlalu mabuk saat itu sampai ketika kami sama-sama melihat ke arah jam tangan masing-masing dan tersadar bahwa malam itu bukanlah malam akhir pekan. Entah kenapa aku juga menambahkan pernyataan bahwa aku akan pulang dengan mulut yang berbau anggur malam ini sambil kebingungan karena sudah berjanji tidak akan pulang dengan mulut yang berbau anggur.
Saat kukatakan kegundahanku tersebut kepadanya, dengan penuh keyakinan, dia membagi solusi yang biasa dia lakukan saat dia dalam posisi tersebut.
“Kawanku, singgahlah sebentar ke pemakaman terdekat sebelum menyentuh rumah,” katanya memulai kuliah singkatnya tentang mengatasi mulut yang beraroma anggur.
Aku mengernyitkan keningku pertanda tidak mengerti.
“Mengapa harus ke pemakaman,” tanyaku.
“Karena pemakaman, entah kenapa mengeluarkan aroma melati yang sangat kuat untuk menempel ke pakaianmu.”
“Bau anggur akan hilang berganti aroma melati kompleks pemakaman. Istrimu akan menutup mulutnya rapat karena merasa tak bernyali untuk menanyakan mengapa badanmu bau bunga melati,” katanya singkat sambil menutup pintu mobil sedannya.
Meninggalkan aku yang sendiri kebingungan di pelataran parkir pertokoan tersebut. Berpikir. Mengapa aku begitu bingung mengatasi mulut yang beraroma anggur ketika pulang padahal aku belum mempunyai istri yang menyambut di rumah? Kemudian kulihat papan penunjuk bar belum juga menunjukkan tanda bar sudah ditutup.