“Terus saja, mas, ikuti saja jalannya sudah,” begitu jawab seorang ibu-ibu paruh baya, kala saya bertanya perihal arah menuju Pantai Nambung kepadanya. Sudah satu jam lebih saya dan kawan-kawan menempuh perjalanan dari kota Mataram menyusuri daerah Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, namun tak sedikit pun pertanda mengenai keberadaan Pantai Nambung menunjukkan eksistensinya. Maka ketika akhirnya kami menemukan pertigaan yang menyimpang pada jalan yang kami lalui, seketika itu pula kami memutuskan untuk segera bertanya kepada penduduk sekitar.
Hari itu kami memang berniat mengunjungi Pantai Nambung. Sebuah pantai yang beberapa bulan belakangan beroleh nama berkat keindahannya yang sedikit eksentrik, lain daripada yang lain. Berbeda dengan pantai-pantai pada umumnya, nama Nambung mendadak naik daun bukan karena keindahan pasir-pasir yang bergelimang pada garis pantainya. Ia juga bukan menjadi tenar berkat ombak-ombaknya yang bergulung dengan arogan, sehingga menjadi salah satu spot favorit bagi para penggemar selancar. Bukan, sama sekali bukan.
Selepas percakapan singkat dengan ibu-ibu di persimpangan jalan tadi, saya dan kawan-kawan kembali meneruskan perjalanan. Selang jarak sekitar satu kilometer, kami kembali berhenti dan bertanya lagi pada seorang penduduk untuk lebih memantapkan keyakinan. Kali ini afirmasi yang didapat pun tetap sama: ikuti saja kemana jalan mengarah—sampai ke sebuah desa bernama Pengantap—nanti pada suatu titik dengan jalan yang sedikit berkelok, bakal ada sebuah spanduk ucapan selamat datang yang menunjukkan bahwa anda telah sampai di Pantai Nambung.
Bermodal petunjuk yang diperoleh tersebut, perjalanan kembali kami teruskan. Udara Sekotong yang terik menyengat, serta jalanan yang sempit dan berkelok-kelok, sebagaimana karakteristik jalan-jalan di daerah Lombok bagian selatan, menjadi pemandangan yang tidak bosan-bosan tersuguh di hadapan mobil yang kami kendarai. Beruntung, meski jalan tak lebar-lebar amat, kontur jalan di daerah ini terhitung masih cukup bagus dan tak terlalu banyak lubang yang kudu dihindari.
Seperti sudah disinggung di atas, Nambung memang bukan pantai yang terkenal berkat ombak atau hamparan pasirnya yang menawan. Nama Nambung belakangan menjadi destinasi yang ramai dibicarakan orang berkat sesuatu yang seharusnya tak bakal kita temui pada suatu pantai: sebuah air terjun! Sepintas memang kedengaran aneh bin mustahil, tapi kenyataannya hal tersebut memang benar-benar ada.
Pada salah satu semenanjung pantainya, Nambung memiliki sebuah spot unik, dimana gelombang ombak yang menghantam gugusan batu karangnya yang berukuran raksasa, akan menghasilkan pemandangan magis berupa aliran air yang berhamburan mengguyur dengan deras ke bawah. Mirip seperti sebuah air terjun. Air terjun dengan air yang asin.
Belakangan, saya ketahui spot ini bernama Tanjung Jagog. Ke sanalah sebenarnya tujuan saya dan kawan-kawan. Demi satu tujuan yang terbilang ambisius: menyaksikan secara langsung bagaimana rupa dari air terjun asin yang ramai diperbincangkan orang-orang belakangan ini.
Jam ditangan saya menunjukkan hampir pukul dua belas saat kami akhirnya menemukan spanduk yang dimaksud. “Welcome to Nambung Beach“, begitu bunyi spanduk tersebut—kalau saya tak salah lihat—yang tak begitu kelihatan karena keadaan jalan yang berkelok. Setelah memarkir mobil, sejenak buang air kecil, mempersiapkan segala ubo rampe dan perbekalan yang hendak dibawa berpiknik, kami lantas bergerak menuju tepian Pantai Nambung.
Dilihat secara sepintas saja, Nambung harus diakui memang memiliki keindahan pantai yang tak kalah rupawan dibanding pantai-pantai di belahan lain Pulau Lombok. Jauh lebih bagus daripada Senggigi—menurut saya—malah.
Pasirnya berjenis merica. Garis pantainya yang memanjang sampai jauh, menghadirkan lanskap yang agak mirip dengan Pantai Selong Belanak. Di pantai ini kita juga dapat dengan mudah menemukan lokasi untuk berteduh dan bersantai di bibir pantai, berkat beberapa pohon yang tumbuh dengan rindang di tepiannya, juga bebatuan besar yang menghampar.
Satu hal janggal (namun mengasyikkan) yang saya tangkap kemudian adalah betapa pantai ini betul-betul sepi. Tidak ada orang-orang yang bermandian dengan air laut atau yang bersantai-santai di atas hamparan pasir. Padahal, di tempat saya dan kawan-kawan memarkir kendaraan tadi, terlihat jelas bahwa pengunjung pantai ini bukan hanya rombongan kami melulu. Ada mobil-mobil lain, pun deretan motor yang terparkir di sana.
Dengan melihat segala atribut yang dimilikinya, Nambung—di luar keberadaan Tanjung Jagog—seharusnya mampu menjelma sebuah destinasi wisata yang membikin semua orang betah berlama-lama menghabiskan waktunya di sana. Sayangnya, nyaris semua orang yang datang ke Nambung hanya sekedar numpang lewat belaka. Mereka, begitu juga saya dan kawan-kawan, datang jauh-jauh ke tempat ini melulu untuk menyaksikan panorama air terjun asin milik Tanjung Jagog saja. Hal ini sedikt banyak membikin keindahan Pantai Nambung nampak under-appreciated. Tak diapresiasi dengan sebagaimana mestinya.
Ibarat Ringo Starr di The Beatles, atau lukisan-lukisan Johannes Vermeer, atau kiprah Pak Boediono di kursi Wakil Presiden selama 5 tahun ke belakang, hingga peran Tan Malaka terhadap kemerdekaan Republik ini, yang adalah sekian banyak hal yang kerap mendapat alpa dari tepuk tangan dan salute kita, Nambung pun bernasib tak jauh beda. Keberadaan Tanjung Jagog yang begitu ramai jadi perbincangan karena keunikannya, membikin orang-orang menjadi alpa untuk berdiam sejenak dan menikmati keindahan pantai ini. Disadari atau tidak, beberapa hal di dunia ini memang kerap kali tidak diapresiasi sebagaimana mestinya.
Siang itu di Nambung, sembari duduk-duduk di pasirnya yang berbulir dan menyaksikan aktivitas narcissique kawan-kawan saya bersama kamera mereka masing-masing, saya menyadari bahwa Nambung adalah sebenar-benarnya jalan kesunyian. Bagaimana manusia datang berduyun-duyun ke sana, setelah lelah bertanya-tanya dan mencari-cari di mana letaknya berada, hanya untuk meninggalkannya begitu saja. Sebab tujuan sebenarnya mereka datang ke sana bukanlah Nambung.
Nambung sedikit banyak mengingatkan saya kepada rintik-rintik hujan yang dengan mudahnya kita lupakan begitu saja, sesegera setelah kembali meningginya sang matahari. Padahal, bukankah dari bias rintik-rintik hujan itulah, sesekali waktu, kita bisa menyaksikan sebuah pelangi yang melengkung di ujung ufuk juga kuncup-kuncup kembang yang bermekaran.
Well, barangkali kita hanya perlu belajar untuk sesekali melihat tidak hanya pada sisi besar sebuah gambar saja. Sesekali waktu, mungkin, kita perlu mengedarkan pandang pada hal-hal kecil nan remeh temeh juga.