PesiarLeang-Leang, Keindahan yang Akan Selalu Terngiang-ngiang

Leang-Leang, Keindahan yang Akan Selalu Terngiang-ngiang

Sungguh sebuah kehendak Tuhan ketika saya bisa sampai ke tempat maha-pecah ini. Saya tak pernah tahu apa dan di mana Leang-leang berada, baik saat hendak berangkat ke Makassar maupun saat telah tiba di ibukota provinsi Sulawesi Selatan itu. Tempat ini tak ada dalam rencana, pun tak tersusun dalam itinerary  saya. Ya, semua terjadi begitu saja, secara tiba-tiba.

Pagi itu saya dan Andi Reza, teman super baik yang bersedia rumahnya saya tumpangi untuk sementara, sepakat untuk bertandang ke kabupaten sebelah, Maros. Tujuan perjalanan kami sebenarnya cukup mainstream,  yaitu Air Terjun Bantimurung. Maros dan Makassar sungguh berbeda, meski dipisahkan jarak yang terlalu jauh di antara keduanya. Sekitar satu jam kami berkendara, sampai juga di kabupaten berudara segar, beralam asri, dan bebas macet beserta polutan radikal bebasnya.

Sebagai pihak yang dibonceng, mata saya tentu punya kebebasan untuk melirik ke kiri-kanan, segala penjuru jalanan. Nah, waktu itu secara tak sengaja mata saya menangkap sebuah objek menarik yang akhirnya nanti membawa saya dan Reza ke perjalanan menuju Leang-leang. Sewaktu Reza memacu motornya, di sisi kiri saya melihat sebuah gerbang yang cukup besar bertuliskan “Selamat Datang di Kawasan Situs Prasejarah Leang-leang” (kurang lebih kalimatnya begitu, maaf saya pun tak begitu hafal). Pemandangan itu saya simpan dalam ingatan, “nanti akan saya tanyakan ketika kami pulang”, begitu pikir saya.

Seperti yang telah saya rencanakan, begitu kami selesai berpuas ria dengan Bantimurung yang memiliki khasiat menghilangkan penyakit murung, saya menanyakan mengenai Leang-leang kepada Andi Reza. Leang dalam bahasa asli sana berarti gua. Leang-leang berarti gua-gua. Tanpa pikir panjang, Reza setuju untuk pergi ke sana dan kami pun segera meluncur. Letak (gapura)-nya tak jauh dari Bantimurung, tapi untuk mencapai gua prasejarahnya, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit. Tapi untungnya, mungkin itu salah satu 30 menit dalam hidup saya yang tak terbuang sia-sia. Jalanan beton yang mulus diapit perbukitan karst hijau di segala penjuru yang mirip lanskap syuting film Jurassic Park sudah lebih dari cukup untuk membuat saya terpana. Entah berapa kali kata “pecah” keluar dari mulut saya ketika itu. Pecah.

Begitu sampai di kawasan Leang-leang, kami memarkir motor dan bergegas menuju loket penjualan tiket. Hari sudah tampak sore, kami khawatir obyek wisata ini sudah tutup. Puji Tuhan masih ada waktu sekitar 1,5 jam bagi kami. Harga tiket masuknya ceban, dan dikelola oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (saat ini mungkin oleh Kemenparekraf), tepatnya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar. Kami dipandu oleh seorang tour guide. Mengapa? Karena ternyata akses menuju salah satu gua di sana, yaitu Gua Petta Kere, dikunci setiap harinya, untuk menjaga kelestarian jejak prasejarah di dalamnya. Nah, Pak X ini sang pemegang kuncinya.

Wow. Just wow.
Di dalam Gua Petta Kere terdapat jejak cap tangan dan gambar babi rusa yang (katanya) asli buatan manusia purba yang mendiami tempat ini dahulu kala. Saya langsung membayangkan sekumpulan anak-anak zaman purba yang asik bermain lalu tanpa sengaja (dan tanpa intensi apapun) iseng saja beramai-ramai membuat cap tangan di atas dinding gua, hahaha.

Sungguh menakjubkan mengetahui fakta bahwa sekitar 5000 tahun yang lalu di daerah ini telah ada masyarakat yang peradabannya cukup tinggi. Mereka hidup secara berkelompok, di tempat-tempat yang cukup akan air, dekat dengan sumber makanan berupa umbi-umbian , binatang buruan di darat maupun di air seperti  ikan, kerang, dan siput. Kala itu mereka hidup dengan berburu dan mengumpulkan bahan makanan. Mereka pun sudah mengenal kehidupan sesudah mati (ditunjukkan dengan adanya upacara & ritual), mengenal upacara agar berhasil dalam perburuan, bahkan mengenal seni melukis.

Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan perbukitan karst yang menunjukkan kebesaran Tuhan yang ‘keterlaluan’. Dengar-dengar, kawasan seperti ini hanya ada dua di Indonesia, yaitu di Maros dan Sumatera Barat (CMIIW). Jelas sebuah pemandangan yang tak kan sering kita lihat sepanjang hidup. Jadi, selagi masih punya kesempatan, sangat saya anjurkan Anda untuk pergi ke sana, mendatanginya.

Sulawesi sungguh kaya, tak cukup sekali datang untuk mengeksplorasinya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

TERPOPULER

TERBARU

Defying “Gravity”

Suratku

Sendiri di Singosari

PNS Bukan Cita-Citaku

ARTIKEL TERKAIT