Kupu-kupu cantik yang tahu dan sadar pada kecantikannya itu menyebalkan.
Setidaknya, demikianlah yang dikatakan oleh adik. Entah kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu. Adik bahkan belum lagi duduk di bangku sekolah dasar dan memperoleh pelajaran IPA. Lagipula, dia tak pernah mengalami kejadian traumatis yang berhubungan dengan kupu-kupu. Ketika kutanya alasannya, dia kemudian menceritakan apa yang akhir-akhir ini ia alami.
***
Beberapa hari lalu, adik melihat seekor kupu-kupu terbang rendah di halaman rumah. Agak mengherankan sebetulnya. Di kota yang sumpeknya bukan main, ditambah fakta bahwa rumah kami hanya bertempat di sepetak tanah sempit di perumahan, masih ada kupu-kupu yang sudi berkunjung. Charles Darwin mungkin akan terkejut bahwa ada kupu-kupu bersayap cerah hadir di tengah kepulan asap yang tiada kunjung berhenti. Namun itulah faktanya. Seekor kupu-kupu kuning berbintik tiba-tiba datang pada suatu sore. Hinggap pada bunga tapak dara. Sesaat kemudian terbang, kemudian hinggap lagi. Seolah ia sedang menari dengan gaya menggoda siapapun yang sedang melihatnya.
Melihat hal tersebut, adik girang bukan kepalang. Ia yang dibesarkan tanpa pernah sekali pun melangkahkan kaki ke desa di mana banyak kupu-kupu terbang dengan bebas terkejut melihat ada makhluk hidup secantik kupu-kupu dengan mata kepalanya sendiri. Tidak melalui internet atau buku bergambar yang biasa ia beli di toko. Ia kemudian masuk rumah dan bergegas memberitahu ibu. Sayang, ketika kembali, kupu-kupu telah hilang terbang.
Adik yang kecewa pun bertekad akan kembali mencari kupu-kupu yang ia lihat. Jika perlu ia tangkap dan masukan ke dalam stoples. Maka, keesokan hari hingga beberapa hari setelahnya, setiap sore adik menanti kedatangan kupu-kupu yang pernah ia lihat. Hasilnya nihil. Tak ada seekor pun kupu-kupu. Tak juga yang terjelek sekalipun.
Saat adik mulai pasrah dan tampak akan melupakan kemauannya itu, tiba-tiba apa yang ditunggunya justru datang. Kemarin, sesaat setelah hujan reda, kupu-kupu kuning bintik itu terlihat terbang merendah ke arah rumah. Air hujan yang masih meneteskan sisa penghabisan–bau petrichor, udara yang sejuk, serta pemandangan yang menakjubkan sore membuat adik bengong untuk sesaat: kupu-kupu yang ia nantikan akhir-akhir ini sedang menari, kejar-kejaran dengan belalang juga katak.
Tak lama, adik segera tersadar. Lensa matanya segera memotret kejadian sesaat tersebut. Belum puas, ia segera mengambil jaring di kamar belakang yang kami jadikan gudang. Kali ini, ia berlari dengan kecepatan penuh agar ia tidak kehilangan jejak kembali. Yang jelas sekarang ia harus bisa menangkapnya, ujar adik.
Kali ini adik menang. Kupu-kupu yang ia incar masih hinggap di pohon kecil di dekat rumah. Ia sedang menghisap nektar dengan begitu nikmatnya. Tanpa membuang waktu lebih banyak, adik berjalan berjingkat-jingkat mendekati buruannya.
Satu langkah.. Dua langkah.. Tiga langkah.. dan hap!
Gagal.
Sepertinya kupu-kupu kuning bintik telah mengetahui ada bahaya yang mengancamnya. Ia segera terbang meninggalkan adik yang masih berusaha mengejarnya dengan sisa-sisa perjuangannya. Tapi kupu-kupu terbang makin tinggi dan tinggi. Mungkin takkan lagi kembali karena ia tak mau hidup di dekat bahaya yang mengancamnya. Kupu-kupu terus meninggi dan akhirnya tak terlihat.
Sedangkan adik menangis dengan keras. Ibu yang datang tergopoh kemudian berusaha menenangkan adik. Butuh waktu beberapa lama untuk membuat tangisan adik mereda. Itu pun karena ia telah kehabisan tenaga untuk menangis.
***
Pokoknya kupu-kupu cantik yang tahu dan sadar pada kecantikannya itu menyebalkan.
Kembali adik mengulang perkataannya. Aku hanya tersenyum simpul mendengar ia mengakhiri ceritanya. Kudekatkan kepalaku, dan kubisikkan sesuatu di dekat telinga mungil adik:
“Terkadang, sesuatu yang cantik menjadi nampak begitu berharga ketika ia hanya mampu untuk dilihat. Tidak ketika ia dimiliki.”