Ketika Raditya Dika mengumumkan akan merilis buku baru di awal tahun ini, segelintir rasa penasaran mulai berkelindan di kepala saya. Hampir sepuluh tahun waktu berlalu sejak Kambing Jantan, bukunya yang pertama, rilis di pasaran. Dan selama itu juga, telah banyak yang dilakukan seorang Raditya Dika selain terus rutin menelurkan judul-judul buku yang baru. Menjadi inisiator berseminya skeMa stand-up comedy di Indonesia, serta belakangan ini mulai terjun menjadi penulis skenario dan juga sutradara untuk buku-bukunya yang diangkat ke layar lebar, misalnya, adalah dua dari sekian banyak yang telah kita ketahui bersama-sama.
Maka dengan selang waktu yang sedemikian rumpang sejak rilisnya Manusia Setengah Salmon, pertambahan usia yang mulai mencapai kepala tiga, serta beberapa pencapaian anyar yang telah saya sebut di atas, pertanyaan besar yang kemudian mengemuka untuk buku ketujuhnya ini tentu saja adalah perihal stagnasi: adakah sesuatu yang benar-benar baru dari Raditya Dika memasuki usia kepenulisannya yang ke-10?
Sayangnya, jika kemudian yang kita cari adalah sesuatu yang benar-benar baru, niscaya tak akan kita temukan pada buku ini. Dalam Koala Kumal, Radit masih tak jauh-jauh beranjak pada kegelisahan dan pengalaman-pengalaman pribadinya, yang kemudian ia tuangkan dalam sesuatu yang selalu ia sebut sebagai “komedi pakai hati”. Apapun artinya itu.
Sejak dahulu saya selalu percaya bahwa menuliskan jurnal atau pengalaman-pengalaman pribadi ke dalam bentuk buku (genre ini sering disebut sebagai personal literature) tak pernah semudah yang kelihatan mata. Selain kudu mengetahui teknik-teknik yang tepat untuk meramu pengalaman-pengalaman kita ke dalam sebentuk cerita yang baik, tantangan dalam menulis personal literature adalah juga perihal menemukan sebuah premis yang kuat untuk menjalin cerita-cerita tentang diri kita tadi, menjadi satu buah kesatuan narasi yang solid dan mampu memberikan impresi yang tidak sekedar lalu bagi para pembacanya.
Raditya Dika adalah satu dari sedikit penulis personal literature yang berhasil memadukan dua unsur tadi. Ia menguasai teknik dengan baik—buah dari ketekunannya membaca berbagai macam genre literasi—sekaligus berhasil mengikat fragmen-fragmen kisah hidupnya dengan sebuah premis yang kuat tanpa melupakan unsur komedi yang menjadi dagangan utamanya. Sejak merilis Marmut Merah Jambu, yang dianggap sebagian besar orang sebagai karya terbaiknya, Raditya Dika nampaknya telah menemukan jalan tengah yang tepat bagi pertentangan antara usia yang semakin bertambah tua dengan ketekunannya untuk terus menggiati jalur komedi.
Selepas Marmut Merah Jambu, yang kemudian dilanjutkan dalam Manusia Setengah Salmon, humor-humor Dika kini lebih sering ditulis dengan narasi yang reflektif dan kontemplatif. Komedi yang boleh dibilang gelap, karena beberapa punchline yang ditulisnya kebanyakan berawal dari setup yang getir atau suasana minor. Bab-bab seperti “Perempuan Tanpa Nama”, “Patah Hati Terhebat”, serta “Koala Kumal”, adalah contoh bab dalam Koala Kumal yang ditulis dengan gaya seperti ini. Dengan usia Dika yang akan semakin bertambah tua, saya kira humor-humor seperti inilah yang bakal sering kita temukan dalam buku-bukunya kelak.
Selebihnya, saya kira memang tak ada yang benar-benar baru dalam 250 halaman Koala Kumal. Kita toh masih akan sering berjumpa dengan cerita-cerita masa kecil Raditya Dika yang kikuk serta tak mempunyai banyak teman. Begitu juga dengan tingkah laku keluarganya yang absurd, serta beberapa fragmen-fragmen kehidupannya bersama mantan kekasihnya ataupun wanita-wanita yang pernah singgah di kehidupannya. Dilengkapi dengan beberapa bab penuh tips-tips komikal, yang biasa diselipkan di sela-sela cerita, bukankah memang seperti itu isi buku Raditya Dika biasanya?
Satu hal yang mungkin membuat Koala Kumal lantas sedikit lebih baik dibanding para pendahulunya barangkali adalah peletakan bab yang ditata dengan cukup cermat. Dua belas bab dalam buku ini jika dibaca secara linear, bab demi bab, bakal membuat kita sedikit bingung untuk menarik kesimpulan mengenai premis apa yang dipakai Raditya Dika untuk bukunya kali ini. Tak seperti Marmut Merah Jambu ataupun Manusia Setengah Salmon yang premisnya dengan mudah tertangkap tanpa perlu membaca bukunya sampai tuntas, dalam Koala Kumal, justru baru ketika kita sampai pada bab terakhir lah, semuanya baru terlihat dengan jelas mengapa Koala yang pada akhirnya dipilih sebagai judul buku, juga premis apa sih yang sebetulnya hendak disampaikan oleh penulisnya. Sebuah perbaikan yang boleh dikatakan kecil, namun nyatanya memberi imbas cukup besar bagi impresi yang dihasilkannya.
Well, secara konten, Koala Kumal mungkin memang tak lagi menawarkan hal-hal baru kepada pembacanya. Secara kualitas pun, ia masih tak lebih baik daripada Marmut Merah Jambu. Yang kemudian mungkin membuat kita tertarik untuk membelinya dan lantas menjadikan buku ini (juga) laris manis di pasaran (pre-order buku ini yang berbonus kaos dan tanda tangan, konon telah ludes terjual hanya dalam tempo 2 jam) barangkali hanyalah nama besar Raditya Dika belaka. Toh, lepas dari itu semua, harus diakui dalam genre personal literature, buku ini masih lebih layak untuk dibeli dan dibaca daripada buku-buku milik seleb-tweet yang kian menjamur itu.