Minggu pagi di bulan Januari. Semburat sinar mentari berebut masuk melewati celah-celah jendela, jatuh tepat menimpa lemari. Cuaca cerah menjadi sebuah anomali, jauh berbeda dibanding hari-hari sebelum hari ini. Surip tegak berdiri, sendiri. Tak seperti tuannya, Boris, ia sudah bangun sedari subuh tadi. Surip tahu, hari ini adalah hari besar bagi tuannya. Boris akhirnya punya kekasih, yang pertama sejak lahir di dunia. Dan hari ini, hari yang Boris tunggu-tunggu, ia akan berkencan dengan Sofia, juga untuk kali pertama.
Sejujurnya, Boris tak bisa dibilang jelek. Kulitnya putih, tinggi badannya sekitar 180 senti, cuma memang perawakannya kurus. Kurus sekali. Aku jamin kau akan langsung prihatin begitu melihat ia bertelanjang dada. Tapi dia tidak jelek. Kurasa bukan penampilan yang membuatnya terus sendiri selama ini, kuyakin lebih karena seleranya. Seleranya tak biasa. Band favoritnya? Frosthardr, Crimson Moonlight, dan Frost Like Ashes. Makanan kegemarannya? Kupang lontong, brutu ayam, juga torpedo kambing. Bahkan film terbaik sepanjang masa menurut dia, The Human Centipede bikinan Tom Six.
Tapi Sofia berbeda. Ia terpikat pada Boris sejak pandangan pertama. Menurutnya, Boris menawan, ia pun tertawan.
Hari ini mereka berdua berencana kencan di dermaga. Koyiran, meminjam istilah yang sering diucapkan Yusak, teman sekelas Boris. Oh iya, maaf kalau aku lupa bercerita, Boris dan Sofia saat ini duduk di kelas 2 SMA. SMA Bakti Mentjos Suralaya tepatnya. Jarak dari kota ke dermaga sebenarnya tak terlalu jauh, kalau ditarik garis lurus mungkin sekitar delapan kilometer saja. Asal kau tahu, Suralaya adalah kota yang gersang. Dulu ia merupakan kota pelabuhan yang ramai, ketika VOC baru masuk ke sini. Bukan sebagai penjajah, melainkan mitra dagang. Kedatangan mereka ibarat pintu gerbang bagi kedatangan bangsa-bangsa lain dari seluruh penjuru dunia. Suralaya menjadi buah bibir, ramai diperdendangkan, dari satu mulut ke mulut yang lain. Tapi itu dulu.
Surip masih tetap berdiri tegak, memaku dalam diam, seperti yang biasa ia lakukan sehari-hari. Ia ingin sekali membangunkan Boris, entah dengan menjilat pipi, mengendus muka, atau hal-hal lainnya. Pokoknya apa pun cara yang bisa membuat Boris bangun. Tapi ia sadar, ia tak kuasa melakukan itu. Tak pernah dan tak akan.
Delapan lima belas. Boris akhirnya bangun. Semalam ternyata ia lupa untuk memasang alarm pukul tujuh, waktu bangun yang telah ia rencanakan sebelumnya. Boris bukan orang yang terbiasa tepat waktu, tapi ia tak pernah sukar untuk bangun pagi. Mungkin karena bunyi alarmnya yang mengganggu itu. Surip? Tak butuh alarm untuk membangunkannya. Ia bisa bangun, juga tidur, kapan saja. Kadang sesuka hati, tapi tak jarang pula harus menunggu perintah dari tuannya.
Boris bergegas mandi, bahkan menjurus terburu-buru. Maklum, ia janji pada Sofia untuk menjemput pukul sembilan pagi. Ia tentu tak ingin kekasihnya kecewa. Ini baru kencan pertama, impresi yang baik adalah segalanya, pikirnya. Surip mandi juga, mandi bersama lebih tepatnya. Itu sudah menjadi kebiasaan mereka berdua. Mereka memang selalu bersama, seakan tak terpisahkan. Maaf, bukan seakan, tapi memang tak terpisahkan.
Delapan tiga lima. Boris tengah menyisir rapi rambut ikalnya. Dia tak suka gel, pomade, atau apalah itu. Mahal dan cuma bikin lengket. Air saja sudah cukup kalau kau hanya ingin rambutmu terlihat basah dan klimis, tuturnya kala itu. Aku masih ingat. Surip? Dia tipe yang cuek, rambut keritingnya ia biarkan tumbuh bebas. Boro-boro ia basahi agar klimis, ia bahkan terlampau malas untuk sekadar mencukurnya ketika mulai terlihat panjang dan tak beraturan. Selalu—aku ulangi lagi, selalu—Boris yang akhirnya harus mencukurnya. Surip toh tenang-tenang saja. Boris juga tak pernah kesal padanya.
Delapan empat puluh. Boris sudah berada di motor Kawasaki-nya, siap untuk berangkat ke kosan Sofia. Tak lupa ia mengajak Surip ikut serta. Jarak ke kosan Sofia hanya dua kilometer, tapi ini hari Minggu. Jalanan lumayan padat karena ada kebaktian gereja di ujung perempatan sana, juga pasar kaget yang orang sebut “SunMor”, akronim dari Sunday Morning, yang di jam-jam ini sedang ramai-ramainya.
Delapan lima-lima. Boris dan Surip akhirnya sampai di depan gerbang kosan Sofia. Boris mencoba menelepon Sofia, memberitahu bahwa ia telah berada di depan. Sofia menjawab, “Tunggu sepuluh menit lagi, aku lagi dandan”. Boris tersenyum, tak sedikitpun merasa kesal. Ia teringat kata-kata Yusak, “cantik itu butuh usaha”, sementara “usaha perlu waktu”. Ia mengamininya. Surip? Ah, ia tentu tak tahu urusan beginian. Tak pernah dan tak akan.
Sembilan lima belas. Sofia keluar dari kosan, menyambut Boris dengan senyuman paling manis yang bisa ia berikan. Boris senang bukan kepalang, dua puluh menit menunggu serasa terlewat begitu saja. Mereka berdua, plus Surip, lantas berkendara menuju dermaga.
Seperti yang kubilang tadi, motor Boris adalah Kawasaki. Bukan bebek tipe ZX 130, tapi ninja. Bangku belakangnya kecil betul, lebih tinggi dari bangku depannya pula. Dengan posisi seperti itu, posisi pembonceng mau tak mau menjorok ke arah pengemudi di depannya. Bonceng mesra, begitu katanya.
Belum ada setengah perjalanan, Boris tiba-tiba gelisah. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Dadanya berdegup kencang, adrenalinnya meningkat, darah mengalir ke arah bawah. Ia tak bisa fokus berkendara. Seakan punya ikatan batin, Surip pun bersikap sama seperti tuannya. Ia ikut-ikutan tegang.
Boris merasa ada sesuatu yang menempel di bagian belakang tubuhnya. Jaket parasutnya yang tipis tak mampu menyamarkan rasa itu. Dua bongkahan kenyal nan ranum, payudara Sofia, menekan punggungnya. Begitu dekat, begitu lekat. Di satu sisi ia senang (akhirnya ia bisa merasakan sensasi itu juga, memang menyenangkan seperti apa yang teman-temannya katakan), tapi di sisi lain ia seperti kewalahan. Ia tak akrab dengan situasi semacam ini. Surip? Ia semakin tegang, lantas merasa mual. “Aku tahu kamu kuat, Rip. Tolong tahan sebentar saja. Kita akan segera sampai”, sahut Boris padanya; kalimat yang sayangnya tak cukup untuk menguatkannya.
Dermaga masih jauh.
Surip muntah. Celana Boris basah.