Aku terdampar di serambi rumahmu. Duduk, menyesap teh hangat buatanmu. Uap panas yang membumbung tinggi dari cangkir ini, selalu mengingatkanku akan cita-cita kita berdua : tua dan mati bersama.
Aku teringat perkataanmu tempo lalu, “Kalau sedang merindu dan di luar sedang hujan, keluarlah. Berhujan-hujanlah. Hujan akan meluruhkan rindumu.”
Aku pikir kali ini aku tidak perlu hujan-hujanan, karena peluruh rinduku ada di depan mataku. Maka aku biarkan diriku meluruh sehabis-habisnya.
Kalaupun misalnya sekarang aku sedang kehujanan, aku pun tidak lantas takut jadi basah kuyup. Kenapa? Karena tatap matamu meneduhkanku. Bahkan dari deras kehidupan sekalipun.
Deru berlalu, aku menatapmu. Sementara kamu menatap bulir-bulir hujan yang terjun bebas dari angkasa. Kemudian iseng menghitung ada berapa tetes hujan yang jatuh. Ternyata kamu lupa. Kamu bisa saja menghitung berapa tetes hujan hanya dengan menghitung degup jantungku saja.
“Coba ingat-ingat kembali, malam ke berapa kamu ada di mimpiku?” tanyaku membuyarkan lamunmu.
“Oh, kita mau bermain tebak-tebakan nih? Asik!”, wajahmu yang sendu karena pesona tetes hujan mendadak menjadi riang seperti mentari pagi. “Mmm, malam ke 365? Tepat setahun kita bersama.”
“Salah.”
“Semalam? Ketika planet-planet berjajar dalam satu garis lurus?”
“Masih salah.”, aku tersenyum. Kamu semakin penasaran. Kursi yang sedari tadi kamu duduki, kamu geser mendekatiku.
“Terus malam ke berapa, dong?” Kamu nampak makin menawan kalau sedang penasaran.
Aku menyesap teh yang mulai menjadi dingin karena waktu. Menghela nafas panjang dan mulai menguak misteri:
Kalau kamu mau tahu,
kamu hadir di mimpiku hampir setiap malam.
Meskipun hari sedang hujan atau malam sedang tiada rembulan.
Kamu selalu hadir.
Bahkan ketika aku terbangun di pagi hari dan membuka mata.
Kamu masih ada disampingku.
Duduk memandangi letak tidurku.
Mengusap rambutku perlahan.
Mendendangkan lagu kesukaanmu dengan lirih.
Membuatku makin malas bangun dari lelap,
untuk sekadar menghadapi kerasnya hari.
Dan perlahan kamu mendekatkan bibirmu ke telingaku,
dan mulai membisikkan sesuatu:
“Suamiku tersayang, ayo bangun. Matahari sudah menunggu di luar.
Ayo kita sapa bersama…”
***
Ketika aku tadi ke sini, langit masih oranye. Sekarang telah berubah menjadi gelap dan dipenuhi gemintang. Sepertinya aku ketiduran. “Maaf aku malah tidur ketika kamu bercerita tentang kehidupan di sana.” Aku rapikan lagi bunga yang tadi aku tebar di atas pusaramu. Tempat terakhirmu di dunia sebelum kamu bertemu dengan kekasih sejatimu, Tuhan.
“Besok aku keluar kota sampai seminggu, jadi aku tidak bisa mengunjungimu seminggu ke depan. Tenang saja. Aku sudah bilang kepada Pak Marto, juru kunci di sini, untuk selalu menebar bunga kesukaanmu setiap hari. Aku pulang dulu. Aku mencintaimu sampai mati.“