“If we’re not supposed to be together, will you be disappointed?”
Pertanyaan itu melayang tiba-tiba dari mulutmu. Hampir saja aku tersedak. Bukan pertanyaan yang seharusnya kamu keluarkan sekarang, sayang. Bukan sekarang. Bukan saat perayaan dua tahun hari jadi kita bersama. Bukan di restoran favorit kita berdua. Bukan di meja nomor sembilan belas yang selalu kita tempati. Bukan untukku, kuharap. Tapi satu-satunya yang berada di meja yang sama denganmu adalah aku.
Jantungku berdegup kencang. Bukan jantung yang berdebar saat dulu kamu memberikan boneka kelinci besar saat ulang tahunku. Aku ingat saat itu kamu sengaja menginap di rumah Daryl, sahabatmu yang juga tetanggaku, agar bisa memberikan kado untukku itu tepat jam dua belas malam. Kado terbesar yang pernah kudapatkan. Kado terlucu yang sampai sekarang paling kusuka. Kado yang tak pernah kuharap akan kaubelikan karena aku tahu harganya jauh dari jumlah sakumu. Kado yang membuatku pagi itu senang sekaligus terharu karena kamu yang memberikannya. Kamu yang memberikannya setelah menabung sekian lama, aku tahu. Kado yang membuatku semakin jatuh cinta padamu.
Napasku tercekat. Bukan napas yang sesak karena menahan kebahagiaan saat kamu menyatakan cintamu di bangku taman itu. Masih jelas di ingatanku saat kamu mengajakku menghabiskan senja di taman kota. Aku mengagumimu sejak kita berada di satu organisasi kampus yang sama. Saat itu aku sangat bahagia saat tahu akhirnya kamu mengatakan ingin menjagaku dari apapun yang membuatku bersedih. Kamu bilang kamu akan selalu ada untukku. Menjaga mataku agar tak sering menahan air mata atau bahkan membuang banyak air mata.
Tapi kini, aku sekuat tenaga menahan air mataku untuk keluar. Jantungku berdebar tak keruan. Napasku sesak. Seakan ada bola besi besar menghantam dadaku. Melemparkanku ke dalam lubang kecil tanpa menyisakan sedikit pun harapan bahwa kamu hanya bercanda dan pertanyaan tadi hanyalah untuk menggodaku. Hatiku meringkuk jauh di dalam lubang kecil yang gelap ini. Merutuki diriku sendiri yang membuatmu melemparkan pertanyaan itu.
“Sayang?”
Kamu meminta mataku untuk memandangmu. Tatapanmu seakan menginterogasi bibirku untuk menjawab pertanyaan mengapa pertanyaan yang tadi tidak kunjung kujawab. Genggaman lembutmu di tanganku seolah menenangkanku. Padahal, saat kulit tanganmu menyentuh punggung tanganku, sebuah film berputar lembut di otakku. Mengingatkan setiap detail kenangan yang kita lalui saat kita berada di tempat ini di hari jadi pertama kita.
Aku ingat, saat itu kamu memakai kemeja biru tua dengan motif kotak-kotak kesayanganmu. Satu-satunya baju yang pas dengan badanmu. Tidak seperti kemejamu yang lainnya yang merupakan warisan dari kakakmu yang sudah pasti kebesaran. Saat itu kamu sangat membanggakan kemeja kesayanganmu yang kamu beli sendiri dengan uangmu. Aku suka saat kamu bangga. Aku suka saat kamu ikut meninggikanku dengan mengatakan aku gadis tercantik nomor dua setelah ibumu. Aku tersipu saat itu. Aku merasa saat itu aku jatuh cinta denganmu untuk ke sekian kalinya.
Aku juga masih ingat saat kamu menolak kuajak naik taksi saja. Kubilang aku yang akan membayar taksinya. Aku maklum kamu yang saat itu sedang bingung karena uangmu habis untuk membiayai motor bebekmu ke bengkel. Belum lagi membayar makan malam kita. Kamu bersikukuh menolak dan mengajakku naik angkutan umum. Aku awalnya takut karena banyaknya berita kejahatan yang terjadi di angkutan umum. Tapi kamu meyakinkanku bahwa kamu akan menjagaku dengan baik. Kamu bilang kamu sudah belajar bela diri dari kakekmu yang masih sanak saudara dari Bruce Lee. Saat itu aku tertawa. Aku tahu saat itu kamu akan menjagaku dengan baik. Bahkan aku yakin kamu mampu menutupi hatiku dari ketakutanku sendiri.
Aku sangat tak mengerti. Mengapa tepat tiga ratus enam puluh lima hari dari hari jadi pertama kita, kamu mengubah atmosfer yang kita miliki? Kamu memberikan pertanyaan yang membunuh kebahagiaanku pelan-pelan. Bukan pertanyaan remeh semacam, ‘kamu mau langsung tidur atau tunggu aku telepon dulu sebelum tidur?’ seperti yang kamu lakukan dulu setahun lalu saat mengantarku hingga depan pintu rumahku. Aku lebih suka pertanyaan itu daripada pertanyaan ini. Paling tidak, pertanyaan itu membuatku hidup. Membuat pendar-pendar cahaya yang menghilangkan ketakutanku. Ketakutan akan kehilanganmu yang kini merekah luas di setiap rongga jantungku.
“Aku nggak ngerti kenapa kamu tanya gitu?”
Jawabku dengan suara yang hampir pecah. Aku tahu aku cengeng. Tapi aku tak mau menangis. Aku lelah menerka-nerka kamu. Aku lelah mencari-cari kamu yang selalu menghilang setiap malam. Aku lelah kamu yang selalu menghindar saat kuajak melewati senja bersama lagi di taman kota. Aku lelah harus menebak isi hatimu saat kamu mulai menanyakan hal-hal yang membuat hatiku tak aman lagi. Seperti saat ini. Pertanyaan yang seakan memperjelas bahwa ragumu kian besar akan kehadiran kita. Pertanyaan yang seharusnya kuharap tak pernah muncul dari bibirmu.
“I just need your answer.”
“What kind of answer do you want?! Pertanyaan itu sama seperti kamu tanya ke manusia. ‘Kalau kamu tahu kamu bakal mati, kamu masih tetep mau hidup nggak?!’ semacam itu. Pertanyaan yang aku rasa kamu sendiri nggak butuh jawabannya, karena kita berdua tahu kemana arah obrolan ini!”
“Maafin aku.”
Aku segera beranjak. Aku tak mau air mataku mengalir lebih deras. Dadaku akan semakin sesak jika aku tak pergi dari sini. Aku tak peduli jika riasan wajahku rusak karena air mata sialan ini. Keinginanku untuk terlihat cantik di matamu tidak ada lagi. Aku hanya ingin membuat mataku berhenti tersiksa karena menahan air yang berusaha mengalir di pelupuk mataku.
Aku keluar dari restoran ini. Restoran kita. Menuju mobilku yang kuparkir tak jauh dari pintu restoran. Sempat terlintas di pikiranku kamu akan pulang naik apa nanti. Namun segera kutepis saat aku ingat kenyataan bahwa pertanyaan sialan itu sudah muncul di bibirmu. Bahwa aku memilih pergi sebelum kamu menegaskan bahwa hubungan kita berakhir. Aku tak mau. Aku yakin bahkan hatiku tak akan mampu jika ternyata netraku harus memandangmu lagi. Walau aku tahu bunyi sepatumu terdengar mengikutiku. Aku tak peduli.
Kucari kunci mobil di dalam tas merahku. Sesaat sebelum kubuka kunci mobilku dengan pengandali jarak jauh, langkahku terhenti. Aku melihat para sahabatku dan adik kembarku berdiri berjajar di depan mobilku. Segera kuhapus air mata yang mengalir deras hingga ke pipiku. Aku tak mengerti mengapa mereka ada di sini, di depan mobilku. Mereka seakan menahanku masuk ke dalam mobilku. Kulihat mereka menahan senyum atau bahkan bingung melihatku. Aku semakin tak mengerti. Seharusnya aku yang bingung, bukan mereka.
Tiba-tiba mulai dari Donita, sahabatku sejak semester satu yang berada di ujung barisan mengangkat sebuah kertas putih besar dengan sebuah huruf abjad disana. Aku mendekat. Memicingkan mataku untuk melihat apa yang tertulis di kertas itu. Kemudian berturut-turut Mega, Emily, Rania, Daryl, Andi, Putri, Stephen, Merida, Ganda, Oni, Panca, Rafael dan kedua adik kembarku ikut mengangkat kertas yang sama dengan huruf abjad yang berbeda-beda. Aku mendekat mencoba membaca tiap huruf yang ada.
W-I-L-L-Y-O-U-M-A-R-R-Y-M-E-?
Dadaku kembali sesak. Napasku tertahan. Jantungku berdetak lebih kencang. aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Menahanku dari diriku sendiri untuk terisak lebih kencang. Kucoba menahan air mataku yang mengalir jauh lebih deras dari sebelumnya.
“Aku tahu kamu bakal se-paranoid tadi.”
Kubalikkan badanku. Ada kamu di sana berdiri dan menatapku, lengkap dengan senyum menawanmu. Badan tegapmu masih terlihat gagah dengan jas yang baru pertama kali ini kamu pakai. Sedangkan aku, keringat di sekujur badan, mata merah, lengkap dengan riasan wajah yang sudah luntur karena berulang kali kuhapus air mataku. Sama sekali tidak cantik.
“Kalau kamu tanya sama aku pertanyaan tadi, aku bakal jawab, ‘I won’t be disappointed, sweet heart. But I will try as hard as I can, I will pray as much as the time I have, I will ask God every time in my pray, to make that we’re supposed to be together’.”
Bahuku semakin berguncang hebat.
“Maaf enam bulan terakhir ini aku nggak punya banyak waktu untuk kamu. Semua karena aku bekerja dan menabung uangku untuk ini.”
Kamu pun menekuk kakimu dan berlutut sembari membuka sebuah kotak beludru kecil. Ada sebuah logam mulia berwarna putih mengkilat. Bukan emas putih aku tahu. Sebuah palladium bertahta sebuah berlian. Cincin yang kuperhatikan saat kita iseng memasuki toko perhiasan. Itulah kamu. Selalu tahu saat aku menginginkan sesuatu yang tak pernah mungkin kuminta tapi selalu kamu kabulkan dengan sepenuh kemampuanmu. Sama seperti boneka kelinci besar itu.
“Naya, will you be my wonderful wife?”
Tidak ada lagi bola besi raksasa di dadaku. Aku seakan berada di gumpalan-gumpalan awan dan menari-nari terbang di bawah pelangi. Napasku tak lagi sesak. Air mataku masih menetes. Tapi aku suka. Aku suka perasaan ini. Seharusnya seperti inilah hatiku jika bersamamu. Dan kuyakin akan tetap seperti ini hingga kapan pun.
“Yes.”
Aku hanyut dalam pelukanmu. Para sahabatku bersorak sorai. Kembang api pun terdengar bersaut-sautan. Aku suka, dan aku bersyukur karenanya. Karenamu.