Beno menghela napas, berdiri lalu meregangkan punggungnya. Ini pasungan ketiga yang ia selesaikan tahun ini. Kali ini untuk Prasti, bekas kembang desa yang malang. Beno membayangkan kaki jenjang Prasti yang kuning mulus akan dikunci di pasungan yang baru saja ia bikin. Kemudian Prasti tidak akan bisa lagi ke mana-mana. Makan, kencing dan berak di tempat. Tidak akan ada yang mau menyisir rambutnya yang panjang legam. Tubuhnya bakal penuh daki, dan giginya yang miji timun itu, duh, akan menguning dan ditutupi gudhal bau bacin. Bayangan Prasti yang ayu berubah pesing dan mawut membikin Beno merasa benci dengan apa yang baru saja dia kerjakan.
Lik Munir, bapak Prasti sendiri yang datang meminta Beno membikinkan pasungan empat hari yang lalu.
“Cepatlah Beno, kau selesaikan pasungan ini! Aku sudah tidak bisa lagi mengendalikan Prasti. Jangan lama-lama. Aku ndak pengin Prasti jadi tontonan seperti sekarang.”
“Saya usahakan Lik.”
Beno cuma bisa menimpali singkat sambil mengangguk pendek. Setelah Lik Munir pulang dari bengkelnya, Beno menghela napas panjang.
“Sejak kapan dan akan sampai kapan aku jadi pembuat pasungan?”
Beno, lelaki berumur tiga puluh delapan tahun yang tidak pernah terlibat dengan perempuan selain ibunya. Beno adalah pengrajin topeng di kampungnya, meneruskan bengkel topeng milik bapaknya. Pada awalnya malas-malasan juga dia harus terkurung di bengkel kerajinan yang penuh kayu-kayu dari berbagai jenis dengan bentuk tak keruan. Bapak Beno bisa membikin topeng apa saja, mulai dari topeng Cirebon, topeng replika tokoh wayang sampai barong, sayang ia suka bekerja setengah-setengah dan meninggalkan banyak hutang pekerjaan kepada orang-orang yang memesan topeng kepadanya. Beno lah yang harus membayar hutang untuk semua pekerjaan bapaknya itu, sementara bapaknya tidak bisa beranjak jauh dari tempat tidur. Dokter rumah sakit umum di kota kabupaten bilang ginjal bapaknya rusak parah, dua-duanya.
Saat remajanya Beno suka merakit macam-macam. Ia ingin jadi insinyur. Beno sempat sangat bersemangat belajar di sekolah lanjutan jurusan teknik mesin, tapi ia segera menyadari dia bukan orang yang tahan dengan kota. Kuliah akan mengharuskan dia tinggal di kota dan dia tidak bakal bisa bertahan hidup di sana. Maka walaupun ragu Beno mengiyakan juga saat bapaknya mempercayakan bengkel padanya. Bagaimanapun bapaknya memang benar, bakat memahatnya menurun pada Beno, anak satu-satunya.
Dusunnya adalah tempat yang terpencil. Harus berjalan atau bersepeda atau bermotor duabelas kilometer jauhnya dari jalan besar sebab tidak ada angkutan umum yang melewati dusunnya. Seakan hendak menegaskan keterpencilannya, dusun Beno dipagari oleh empat pokok beringin putih di empat penjuru angin. Menurut cerita buyutnya, pada zaman penjajahan dulu, dusunnya adalah satu-satunya dusun yang tidak dimasuki oleh Belanda karena mereka hanya melihat dapuran pring yang luas di tempat di mana dusun Beno berada. Orang-orang selalu percaya itu adalah berkat perlindungan empat beringin putih keramat yang menjaga dusun Beno. Salah satu pohon beringin di sudut selatan ditebang tahun lalu saat ia tersambar petir dan patahan pohonnya roboh menghalangi jalan dusun.
Meski terpencil dan sepi, dusun Beno terhitung tenang tenteram. Memanglah dusun itu hanya dikuasai oleh beberapa gelintir keluarga priyayi, sementara sisa warganya adalah buruh mereka, entah itu buruh tani, buruh kebon atau rewang. Semuanya berjalan biasa saja, kalau tidak anak-anak mudanya kemudian merantau jadi karyawan rendahan di kota, maka mereka tetap tinggal di dusun meneruskan pekerjaan orang tuanya. Semuanya begitu wajar dan tertebak. Tidak pernah ada sesuatu yang luar biasa. Kecuali bahwa sekarang ini dusunnya sedang kena wabah gila. Iya, kau tak salah dengar, wabah gila. Beno barangkali bisa maklum kalau terjadi wabah gondok atau polio atau desentri atau korengan. Tapi wabah gila? Dan semua korbannya perempuan? Aneh bukan? Sudah enam orang yang sepengetahuan Beno menjadi berkelakuan tidak wajar. Mulanya adalah Tin, Ning, lalu Yu Mun, Yayah, Wiwit, dan terakhir Prasti. Entah tulah apa yang sedang diturunkan Gusti Allah pada dusunnya.
Dari keenamnya, Tin dan Ning terpaksa harus dipasung oleh keluarga mereka menggunakan pasungan yang dibikin oleh Beno. Tin pada mulanya adalah remaja perempuan yang biasa saja. Lulus SMP dia lantas ke Semarang, jadi penjaga toko di pasar Johar kabarnya. Dua tahun kemudian pulang tanpa uang, merawat Dulah, kakaknya yang terkena ayan, kemudian suatu malam ia kejang-kejang dan paginya tiba-tiba tidak mengenali semua orang. Setelahnya dia terus berjalan mengelilingi dusun berkali-kali dalam sehari, diketukinya semua pintu rumah, ditanyainya semua orang yang dia temui,
“Aku siapa? Kamu siapa? Maumu apa?”
Orang-orang terkejut namun mereka berusaha menanggapinya dengan tenang. Barangkali di kota dulu dia dikecewakan laki-laki, atau sawan ayan kakaknya menular kepadanya. Makin lama pertanyaannya setiap bertemu orang semakin panjang, dan dia akan berteriak-teriak sambil mengejar-ngejar apabila pertanyaannya tidak dijawab. Orang-orang mulai jengah, dan Mbok Darim, ibunya, akhirnya menyerah, dua anak yang kurang waras tak ayal membikin tubuh dan pikiran tuanya kewalahan. Ia meminta dibuatkan pasungan kepada Beno. Satu-satunya orang yang dikenal ahli dengan kayu di dusun itu.
Tentu saja Beno ingin menolak, namun melihat Mbok Darim yang sayu, keriput dan mulai bungkuk, Beno tak tega.
“Tolong saya Nak Beno. Bikinkan saya pasungan, saya ada kayu nangka di samping rumah. Ndak kuat saya ngopeni Tin. Sampeyan tahu saya harus mburuh tani buat cari makan. Saya ndak bisa megawe kalau begini terus. Saya mau kasih makan apa bocah-bocah saya?”
Sungguh hanya ketaktegaan Beno saja yang membawa dia berjibaku dengan tatah dan palu untuk membuat sesuatu yang jauh dari topeng, jauh dari seni. Ia ingin minta maaf pada Tin, untuk sudah membikinkannya belenggu. Tin tidak salah apapun padanya. Ia tak keberatan ditanya hal yang sama berkali-kali dalam sehari oleh Tin. Tapi kalau belenggu ini adalah satu-satunya cara buat membantu ibunya supaya bisa tetap memberinya makan, apalagi yang bisa Beno lakukan?
Pasungan kayu nangkanya yang kedua dibuat Beno untuk Ning. Berhari-hari Beno tak tidur. Tak pernah ia rasakan pekerjaannya bisa begitu menyakitinya sedemikian rupa. Seakan-akan palu dan tatah di tangannya ingin ia sasarkan pada mukanya sendiri saja. Bagaimana tidak, ini kali ia membikin pasungan untuk satu-satunya perempuan yang ia pernah cintai selain ibunya. Beno telah mulai menyukai Ning sejak pertama kali didengarnya gadis ayu itu nembang Dandang Gula di panggung tujuh belasan di dusunnya. Saat itu Ning berusia duabelas tahun dan Beno lelaki duapuluh lima tahun yang canggung. Ning anak gadis bersuara merdu dengan mata coklat dan kulit putih mulus kemerahan seperti keturunan Londo. Barangkali dulu ada meneer yang membagi gen-nya dalam darah nenek buyut atau canggahnya. Tapi bukankah dusunnya dulu tak pernah diinjak Belanda? Atau buyut Ning adalah pendatang di dusunnya? Beno tidak tahu dari mana asal hidung mancung tinggi milik Ning, sebagaimana dia tidak bisa menjelaskan dari mana rambut coklat kemerahan Ning berasal.
Ning pergi cukup lama dari dusunnya. Beno sudah berkeyakinan kalau sampai suatu saat entah kapan, Ning pulang dan belum dikawin orang, itu adalah pertanda bahwa Beno harus menyampaikan perasaannya. Ning memang kembali, di umur duapuluh lima, ia tetap cantik tentu saja, tapi diam tak pernah bicara. Tidak pernah ada yang tahu apa yang terjadi kepadanya dan tahu-tahu pada suatu siang yang terik Ning berjalan ke kerumunan penduduk dusun yang tengah memasang tenda untuk acara sadranan. Beno melihat senyum itu, senyum yang membikinnya gandrung bertahun-tahun lamanya, yang membikinnya sulit tidur, yang ia gilai diam-diam. Beno terkesima, kemudian lemas. Orang-orang di sekelilingnya terpekik, Ning di sana, wajahnya tersenyum dan tubuhnya tak mengenakan apa-apa.
Jagat dewa batara! Beno lemas selemas-lemasnya. Tubuh tanpa sehelai benang itu, sungguh! Beno membungkuk, tangannya bertumpu pada lututnya, ia bagai tak kuat berdiri. Ia terpesona sekaligus terluka demikian ngilunya.
“Apa yang kau lakukan pada dirimu, Nduk cah ayu..?”
Semua orang terkesima, beruntung Lik Sarti dengan sigap menyambar taplak meja lebar dan segera menyampirkannya menutupi tubuh Ning yang telanjang bulat. Beberapa perempuan yang lain segera menghampiri Ning lalu menggiringnya masuk ke rumah kepala dusun. Suara istighfar tiba-tiba memenuhi udara, sementara mulut para pria masih ternganga-nganga.
Seisi dusun geger, kali ini tidak perlu menunggu lama, Beno kembali didatangi untuk membuatkan pasungan. Ning memang tidak pernah mengamuk atau membikin keributan, dia justru sangat tenang, tidak pernah bicara, hanya terkadang tersenyum sendiri. Satu hal yang dia suka lakukan, berjalan keliling kampung dalam keadaan telanjang. Baju apapun yang dipakaikan selalu dia tanggalkan. Pembicaraan di poskamling kini bukan seputar cerita nggladrah tentang wewe gombel di rumpun bambu pinggir dusun, laki-laki di dusunnya kini lebih suka membicarakan betis dan paha Ning yang mulus, atau pinggulnya yang padat, atau puting susunya yang merah muda, atau tentang siapakah laki-laki yang sudah pernah merasakan tubuhnya. Alangkah muak Beno mendengarnya. Maka dikuat-kuatkan hatinya untuk membikin pasungan kedua. Jika dibelenggu di pasungan bisa menyelamatkan Ning dari menjadi tontonan dan sasaran pikiran bejat laki-laki di dusunnya, Beno rela melakukannya. Setiap hentakan palunya pada pokok kayu nangka tua, Beno merasakan pukulan penuh dendam dihujam ke dadanya.
Beno tidak pernah menduga, menyelesaikan pasungan untuk Ning ternyata tidak seberapa menyakitkan dibanding saat ia menyaksikan kaki Ning dibelenggu pada pasungan bikinannya. Ning tidak melawan, ia hanya diam sementara Beno menyandar ke dinding dengan gemetaran. Setelahnya Beno mengunci diri di bengkel, melemparkan semua benda yang ada di dekatnya, meneriakkan nama-nama binatang dan segala jenis pisuhan yang ia kenal, menjambak-jambak rambutnya dan tidak keluar dari bengkel tiga hari lamanya.
Rupanya sawan gila di dusun Beno tidak cukup hanya dengan mencuri kewarasan Tin dan Ning. Beberapa perempuan lain ikut berkelakuan tidak wajar. Yu Mun yang sejak kanak memang agak terbelakang, makin hari makin sering terpergok bicara sendiri, di jalan atau di sendang saat mencuci. Sementara itu kepala dusun mulai mengeluhkan tetangga samping rumahnya, Yayah, janda beranak satu itu mulai sering kedengaran tertawa-tawa dan menangis setiap malam. Layaknya kejadian-kejadian aneh lainnya, kasak-kusuk tentang musababnya lekas berkembang dan menjadi tak terkendali. Banyak yang bilang sawan gila yang terjadi adalah pekerjaan dukun hitam, ada yang mengatakan itu adalah tulah akibat beringin putih di penjuru selatan ditebang, sampai-sampai orang-orang mulai mengulik dosa-dosa apa yang telah dibikin orang tua perempuan-perempuan hilang ingatan di desanya. Ini pasti karma, beberapa orang menyimpulkan, sementara beberapa yang lain mengaminkan. Tapi selain itu keadaan dusun Beno sesungguhnya biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa, orang-orang tetap ke sawah, anak-anak sekolah, sesekali kotak amal di masjid kemalingan, sesekali panen gagal, atau pengijon rambutan membanting harga, semuanya berjalan sebagaimana biasa. Kecuali bahwa ada tiga perempuan terbelenggu di pasungan dan dua lainnya makin sering melantur dan dihindari orang-orang.
Tepat dua bulan setelah Beno selesai mengerjakan pasungan untuk Prasti, siang sedang terik-teriknya, Beno tengah mengecat topeng barong pekerjaan ayahnya yang terbengkelai, saat Harno, keponakannya pulang dari sekolah sambil bersungut-sungut,
“Dhe! tadi pas pelajaran olahraga di lapangan, ada orang gila ngejar-ngejar pak guru olahraga, maksa ngasih kembang, lha pas aku dekati, ternyata Mbak Wit yang ngajar TPA. Isin saya Dhe! Malu!”
“Walah, yang benar?!”
“Ya beneran mosok apus-apusan? Ndak bisa dibiarkan begini ini. Kita harus cari bantuan!”
Beno hanya tersenyum kecut,
“Mau minta bantuan siapa kowe? Minta dibantu presiden?”
“Kamu akan terkejut Dhe, kalau kita mau, ini bisa sampai ke presiden. Ini jaman media sosial. Jaman maju!”
“Lagumu cah. Sudah sana, pulang!”
Harno melangkah pulang sambil memberengut sementara Beno menggeleng-gelengkan kepala sambil terus mengecat topengnya. Setelah kejadian Ning, sepertinya ia mulai terbiasa mendengar ada orang lain yang menjadi gila di dusunnya.
Mestinya semuanya tetap berlangsung biasa saja, sampai suatu ketika Beno melihat dua anak muda berpenampilan seperti mahasiswa, di leher salah satu dari mereka dikalungkan kamera besar yang nampak canggih, sementara salah satu lainnya tangannya tidak lepas dari pulpen, buku catatan dan sesuatu mirip radio kecil yang Beno curigai sebagai alat perekam. Beberapa hari mereka nampak bolak-balik ke rumah kepala dusun, kali lain mereka ke rumah Mbok Darim, lalu ke rumah Ning. Beno dengar mereka tidak dibukakan pintu saat datang ke rumah Lik Munir. Ada sesuatu pada mereka yang membuat Beno merasa tidak suka, hanya Beno tidak tahu itu apa.
Setelah kemunculan dua anak muda tadi, muncul anak muda yang lain berpenampilan serupa, lalu orang-orang berseragam seperti pak lurah yang selalu nampak tergopoh-gopoh. Orang-orang di Poskamling mulai kasak kusuk kembali, konon pemasungan Tin, Ning dan Prasti dibikin berita dan masuk koran lokal, lalu berita koran lokal diangkat di koran nasional. Itu lumrah, orang-orang di luar sana, terutama orang-orang kota selalu haus berita-berita yang tidak wajar, semakin nyeleneh semakin menghibur bukan? Kepala dusun kewirangan dimintai informasi sana-sini, didatangi sekelompok mahasiswa psikologi yang tiba-tiba ingin praktek kerja lapangan di dusunnya, juga beberapa orang dari laboratorium entah apa yang ingin memeriksa kandungan air tanah di dusun Beno. Kepala dusun Beno yang berpembawaan tergesa-gesa pontang-panting dipanggil olah lurah, camat, sampai bupati. Berawal dari kata-kata kepala dusun, mendadak semua orang berbisik-bisik hal yang sama, “pelanggaran hak asasi manusia” tanpa mereka mengerti maksudnya. Dusun mereka menjadi ramai tak jelas, lampu-lampu menyala sampai larut malam, poskamling tak pernah sepi, orang-orang asing makin sering keluar masuk, keadaan ini membikin Beno gelisah dan merasa tak aman. Ia benar-benar ingin orang-orang asing itu pergi dan terutama berhenti mengusik Ning.
Namun bukannya orang-orang asing itu pergi, semakin hari justru semakin banyak yang datang, bahkan penduduk dusun lain mulai melongok, mampir sepenghisapan rokok karena penasaran, beberapa penduduk kampung melihat hiruk-pikuk itu sebagai kesempatan dan merekapun menggelar dagangan, menjual rokok, kopi dan gorengan.
“Setan alas! Bubrah, bubrahh!”
Beno memaki saat tiba-tiba nama dusunnya disebut dalam sebuah acara lintasan berita sore hari di televisi empatbelas inch-nya. Ia menangkap kilasan-kilasan gambar yang ia kenal, rumah kepala dusun, halaman dan kebon Mbok Darim, plang nama desa di depan kelurahan, lalu dua sosok perempuan yang terbelenggu dalam pasungan. Beno mengenali Tin dan Ning walaupun wajah mereka diburamkan.
Belum reda keterkejutan dan kemarahannya, Harno datang tergopoh-gopoh,
“Dhe, Dhe! Ada yang mencarimu, kepingin interview, interview! Orang tivi!”
Seketika Beno menyambar lengan Harno, membawanya masuk dan membanting pintu. Dengan geram ia menarik leher baju Harno,
“Apa yang sudah kau lakukan No, apa? Kamu ngomong apa sama media sosialmu itu ha?!”
Harno kontan gelagapan dengan reaksi Beno,
“Aku ndak ngomong apa-apa Dhe, tenan…!”
“Mbelgedhes! Bilang apa kamu? Ngaku!” Beno menarik leher kemeja Harno lebih kuat, tubuh kurus Harno terangkat, kakinya menjinjit-jinjit berusaha menapak tanah,
“Iya, iya! Aku cuma bikin status di fesbuk dan nulis di twitter kalau di kampungku banyak orang sakit jiwa, banyak orang dipasung!”
Beno melepas cengkeramannya pada leher baju keponakannya dan mundur dengan sedikit terhuyung.
“Aku juga nggak ngira bakalan jadi seramai ini Dhe…,” Harno menunduk.
Suara ketukan. Beno njenggirat. Orang-orang yang tadi datang bersama Harno mulai tidak sabar menunggu di balik pintu. Sungguh Beno hanya ingin melakukan satu hal, mengusir semua orang asing itu dari dusunnya, semuanya!
Dengan marah dibukanya pintu,
“Pak Beno? Benarkah anda yang membuat pasungan di kampung ini?”
“Apakah Pak Beno dibayar?”
“Benar Pak Beno yang memberi ide supaya orang-orang dengan gangguan kejiwaan di sini dipasung?”
“Sejak kapan Pak Beno membuat pasungan?”
“Mana yang lebih masuk akal, ilmu hitam atau racun dalam air tanah di dusun ini yang membikin orang-orang sakit ingatan?”
“Beberapa LSM sedang bersiap mengajukan tuntutan karena menganggap ada pelanggaran HAM, bagaimana pendapat Pak Beno?”
“Salah satu yang dipasung, Ning, kabarnya pernah memiliki hubungan khusus dengan anda, bisa diceritakan?”
Pertanyaan-pertanyaan menghambur seperti petasan yang diledakkan di muka Beno, lampu-lampu kamera berkilatan, wajah-wajah asing yang tidak dikenal, lensa-lensa seperti menangkapnya dengan dingin dan tanpa perasaan. Lantai yang diinjak Beno terasa berputar-putar, lututnya goyah, kata-kata yang tadi sudah mengumpul di mulutnya untuk mengusir orang-orang itu mendadak lenyap. Beno merasakan tenggorokannya kering dan tangannya dingin sementara matanya panas dan meremang. Sekitarnya memburam, bunyi-bunyi seperti menjauh. Tiba-tiba Beno merasa sedikit melayang, sunyi sesaat lalu telinganya mendadak dipenuhi suara Ning nembang Dandang Gula belasan tahun yang lalu.
O… betapa Beno hanya ingin kembali memahat topeng-topengnya…
***
Catatan:
- Miji timun: Rapi seperti biji mentimun (ungkapan Jawa)
- Gudhal: Kotoran gigi
- Mawut: Berantakan
- Ayan: Epilepsi
- Sampeyan: Kamu
- Megawe: Bekerja
- Mburuh: Memburuh
- Tatah: pahat
- Nembang: menyanyikan tembang
- Dandhang gula: judul salah satu tembang Jawa
- Londo: Belanda
- Meneer: Tuan (Belanda)
- Sadranan: Upacara selamatan menyambut bulan puasa
- Gandrung: Mabuk cinta
- Nggladrah: Tidak jelas ujung pangkalnya
- Dapuran pring: Rumpun bambu
- Pisuhan: Makian
- Sendang: Sungai/mata air
- Isin: Malu
- Apus-apusan: Bohong
- Lagumu: Lagakmu
- Kewirangan: Menjadi malu/dipermalukan
- Mbelgedhes: Omong kosong
- Njenggirat: Terkejut