ResensiCinta dalam Kardus: Sekotak Memori di Atas Panggung

Cinta dalam Kardus: Sekotak Memori di Atas Panggung

Sebagai seorang penulis muda, Dika Angkasaputra Moerwani —atau yang lebih kita kenal dengan nama Raditya Dika— bisa dibilang telah berhasil menunaikan apa yang menjadi passion-nya. Buku-buku karyanya yang bergaya personal diary  nan jenaka, selalu laris manis di pasaran. Sebut saja Kambing Jantan (2005), Cinta Brontosaurus (2006), Marmut Merah Jambu (2010), dan Manusia Setengah Salmon (2011). Dua diantaranya bahkan telah diadaptasi menjadi tontonan layar lebar oleh dua sutradara kenamaan : Rudi Soedjarwo (Kambing Jantan, 2009) dan Fajar Nugros (Cinta Brontosaurus, 2013).

Tak puas sampai di situ, masih di tahun yang sama dengan rilisnya film Cinta Brontosaurus, tahun 2013 ini Raditya Dika menelurkan satu film lagi yang kemudian menetas di tangan Salman Aristo sebagai sutradaranya: Cinta dalam Kardus. Berbeda dengan dua film sebelumnya, film ini bukanlah hasil adaptasi dari buku karya Raditya Dika. Naskah ceritanya adalah buah karya duet Raditya Dika dan Salman Aristo dengan main concept  mengawinkan kepiawaian Raditya Dika sebagai seorang comic  dan keberhasilan serial tv Malam Minggu Miko.

Sebenarnya alur cerita dalam film ini sangatlah sederhana. Bercerita tentang Miko —yang diperankan sendiri oleh Raditya Dika— yang ingin mencoba open mic  di sebuah kafe langganannya untuk sejenak melupakan masalahnya dengan Putri (Anizabella Lesmana), pacarnya, yang akhir-akhir ini terlampau sering marah-marah tanpa alasan yang masuk akal.

Malam yang dinanti tiba. Miko yang pada awalnya diragukan oleh Rian (Ryan Adriandhy), memantapkan tekad untuk tetap berangkat ke kafe dengan membawa sekotak kardus berisi barang-barang pemberian 21 mantan gebetannya —termasuk barang kenangannya dengan Putri— yang seharusnya telah dibuang oleh Mas Anca (Hardian Saputra).

Setidaknya sampai di bagian ini, nuansa yang biasa tersaji dalam Malam Minggu Miko terasa sangat kental. Kita masih berjumpa dengan Miko, Rian, Mas Anca, dan Morgannisa. Kita juga masih akan dibuat tertawa dengan celetukan-celetukan konyol lagi segar dari masing-masing tokoh. Pun dalam pengambilan gambarnya, metode mockumentary  masih menjadi pilihan. Bagi saya, ini tak jadi masalah. Toh, saya menikmatinya. Sedikit pesan dari saya, meskipun Anda sedang menonton film ini di bioskop bersama gebetan atau pacar baru, jangan takut untuk tertawa. Tak perlu jaim, karena niscaya gebetan atau pacar baru Anda tersebut juga sebenarnya ingin melakukannya. Tertawalah bersama-sama.

Cerita berlanjut. Di atas panggung, Miko merasa sangat canggung. Semua yang telah dia persiapkan sebagai bahan stand up comedy  mendadak hilang dari benaknya. Di saat seperti itu, sepasang ABG yang duduk di meja bagian depan dekat panggung tempat Miko berdiri, membuatnya merasa terganggu dengan percakapan mereka tentang cinta yang overrated. Namun justru dari situlah secara spontan open mic-nya dimulai. Mengusung tema cinta, Miko berceloteh bahwa cinta seharusnya menerima apa adanya tanpa menghendaki ada yang berubah dari pasangannya. I love you just the way you are.

Kardus berisi barang-barang ‘sakral’ yang tadinya dibawa tanpa maksud pun pada akhirnya dia gunakan sebagai alat bantu untuk menyukseskan misinya meyakinkan para pengunjung kafe bahwa cinta tak seharusnya menuntut. Tanggapan dan sanggahan dari pengunjung yang beraneka rupa latar belakang dan usia membuat suasana kafe berubah menjadi panggung interaktif. Dari sini cerita mulai berkembang. Barang-barang pemberian itu sesekali membawakan visualisasi masing-masing cerita di masa lalunya bersama mantan gebetan.

Namun sayang, bagi penikmat alur cerita seperti saya, di bagian ini film mulai terasa membosankan. Hanya seperti sedang menonton sebuah tayangan stand up comedy  di layar yang mahalebar, beramai-ramai, dan dengan tempat duduk yang empuk. Bagaimana tidak? Main plot  pada bagian ini hanya melulu dialog antara Miko dengan para pengunjung kafe. Cerita dari setiap flashback  yang coba sesekali diselipkan masih gagal menyiasatinya. Guyonan lampau yang pernah dibawakan Dika pun berkali-kali diangkat kembali pada bagian ini. Followers  akun twitter dan pemirsa penampilan stand up comedy  Dika pasti akan bergumam, “ah, lelucon ini lagi”. Beruntung masih ada Andhika Triyadi yang sukses menjalankan tugasnya dalam menyusun tatanan musik sebagaimana rupa, sehingga lambat laun mampu mengikis kebosanan yang saya alami. Backsound  yang mengiringi film ini —kalau saya bilang— juara. Membikin setiap penggal ceritanya jadi lebih bernyawa.

 

Jangan lupakan juga sepotong kisah kilas balik yang menampilkan seorang Lukman Sardi yang kali itu memerankan ayah Miko semasa kecil. Mata siapa yang rela melewatkan kepiawaiannya dalam berakting? Saya rasa tak ada. Dan itu sedikit banyak membuat saya kembali menaruh perhatian pada layar bioskop.

Terlepas dari semua itu, acting  Raditya Dika saya rasa lebih baik jika dibandingkan dengan 2 film yang dia perankan sebelumnya. Meskipun masih saja sesekali terlihat lebay, tipikal Dika. Barangkali seringnya dia memainkan peran Miko serta statusnya sebagai seorang comic  di kehidupan nyata menjadikannya nyaman dengan peran itu.

Dan yang menurut saya menjadi nilai jual utama dan paling mampu membuat saya tertarik pada film ini adalah ide penggunaan kardus sebagai visualisasi setting  sketsa dalam hampir setiap potongan flashback. Mulai dari tokoh figuran, perabot, hingga hewan peliharaan. Jujur, pada awalnya saya mengira terminologi ‘Kardus’ dalam judul film ini semata untuk menunjukkan sekotak kardus yang digunakan Miko sebagai wadah untuk menyimpan barang-barang kenangannya. Ternyata tidak. ‘Kardus’ di sini menyimpan sebuah maksud yang jauh lebih ‘wah’ daripada itu. Kredit untuk ide segar ini pantas diberikan kepada Ricardo Marpaung selaku penata artistik.

Mendekati akhir cerita, alur mengerucut pada sebuah kesimpulan yang meskipun sebenarnya sudah bisa kita tebak namun bagi saya quotable  sehingga layak untuk tetap dinanti. Bahwa cinta sudah sepantasnya membuat kita berani untuk tumbuh bersama. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Yang kita bisa lakukan hanyalah tetap berpegangan tangan menghadapi semua goncangan, sampai akhirnya kita memijakkan kaki di tempat tujuan. Ah..

Kesimpulan

Cinta dalam Kardus barangkali bukanlah film yang istimewa, terutama jika ditinjau dari segi alur cerita yang terlampau sederhana dan sedikit membosankan. Sungguh sayang juga sebenarnya karena jika kita cermat mengamati sepanjang jalannya film, akan tampak ada beberapa plot hole  dan detil rangkaian logika yang kurang diperhatikan. Ide ceritanya pun sebenarnya cukup klise, masih mengekor pada basis cerita Malam Minggu Miko yang notabene terinspirasi oleh Woody Allen, sang idola dari Raditya Dika.

Tetapi adalah sebuah kemunafikan jika saya tak mau mengakui kegembiraan atas lahirnya film bergenre komedi yang bisa dibilang berbeda, setidaknya untuk dunia perfilman di Indonesia. Tidak melulu membanggakan keseksian paha dan dada gadis-gadis ayu. Tidak pula menonjolkan hinaan-hinaan verbal terhadap kekurangan fisik. Raditya Dika dan Salman Aristo bisa dibilang telah sukses menunaikan misinya menciptakan sebuah film komedi eksperimental. Terlebih dengan adanya dukungan dari tim produksi yang sangat luar biasa. Saya tak bisa membayangkan bagaimana jadinya apabila Cinta dalam Kardus tidak dihiasi dengan ide kardus-kardus itu. Atau tanpa tata musik yang rekat membalur setiap potongan scene. Pasti sangatlah hambar.

Pada akhirnya, angka 7 sepertinya layak saya sematkan pada film ini. Tentunya dengan sedikit harapan agar ke depannya, baik Raditya Dika, Salman Aristo, ataupun semua pihak yang terlibat dalam film ini dapat membenahi kekurangan yang ada serta mengembangkan ide-idenya menjadi lebih baik lagi dalam rangka memajukan dunia perfilman Indonesia.

Tabik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

TERPOPULER

TERBARU

Defying “Gravity”

Suratku

Sendiri di Singosari

PNS Bukan Cita-Citaku

ARTIKEL TERKAIT