I.
Ada yang getir ketika melihat raut muka Adi Rukun, tokoh sentral “Senyap” (The Look of Silence), sebuah film dokumenter karya Joshua Oppenheimer. Seakan sebuah sekuel bagi film dokumenternya yang mendapatkan nominasi Oscar tahun lalu, “Jagal” (The Act of Killing), “Senyap” masih mengambil peristiwa pembantaian PKI di Indonesia sebagai jantung narasinya. Berbeda dengan “Jagal” yang menuturkan ulang sejarah dengan teknik narasi yang metafilmis dan surreal lewat lakon Anwar Congo, kali ini Joshua mendokumentasikan sejarah dengan lebih lugas, konvensional, dan lebih intim pula lewat bingkai sebuah keluarga transmigran asal Jawa Timur yang menetap di Deli Serdang. Saya tidak akan menulis resensi film “Senyap”. Teman saya, Ardyan M. Erlangga sudah menuliskan semua aspek tentang film tersebut dengan lebih bernas di postingan blognya. Apa yang saya rasa tentang film tersebut sudah tertulis di sana, dan bagi saya, rasanya tidak ada ruang untuk mendedah atau menambahi lagi analisa Mas Yandri.
II.
Bertahun-tahun lalu, sebelum saya mengenal ” Eichmann in Jerusalem“, tulisan Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan era Nazi, saya sempat membaca tentang sebuah eksperimen yang menunjukkan begitu mudahnya manusia untuk menjadi jahat dan tak berperikemanusiaan. “Stanford Prison Experiment“, demikian ia disebut, adalah sebuah percobaan psikologi yang dirancang oleh profesor Universitas Stanford, Philip Zimbardo, pada tahun 1971.
Zimbardo mendesain semacam role-playing untuk dimainkan oleh 24 orang pesertanya, ada yang berperan sebagai penjaga penjara, dan tentu saja ada yang sebagai narapidana. Dilakukan di sebuah basement gedung kampus, para “narapidana” diberi seragam penjara, dirantai di salah satu kakinya, dan dipanggil dengan menggunakan angka seragam alih-alih namanya. Yang berperan sebagai penjaga penjara diberikan alat-alat keamanan seperti layaknya sipir betulan. Lima hari kemudian, baik para penjaga maupun para tahanan sama-sama menyelami perannya masing-masing. Si penjaga menjadi semakin brutal dan sadis (bahkan ada yang menyayangkan ketika eksperimen berhenti). Sementara itu, para tahanan menjadi semakin depresi dan tak berdaya karena kemanusiaannya semakin tergerus oleh deindividualisasi dan depersonalisasi di penjara bohongan tersebut. Mereka lupa bahwa sebenarnya sipir dan tahanan adalah peran main-main dan bukannya sungguhan. Eksperimen penjara Stanford, betapapun tak etisnya dan tak bermoralnya ia sebenarnya, adalah jendela untuk melihat kapabilitas manusia untuk berbuat jahat di bawah instruksi. “Dia melakukan tugasnya…; dia tidak hanya mematuhi perintah, dia juga mematuhi hukum”, demikian tulis Arendt tentang Eichmann. Apa yang dilakukan Eichmann dan simpatisan Nazi, juga para sipir bohongan di eksperimen Stanford bisa jadi adalah fenomena yang sama. Dan mengerikannya, kita semua punya potensi untuk melakukan hal serupa, sama seperti tetangga-tetangga Adi Rukun yang menjagal kakaknya pada masa pembantaian besar PKI tahun 1965-1966. Di bawah instruksi, entah dari negara atau pemimpin agama, setiap orang bisa menjadi begitu kejam.
Narasi besar tentang pembantaian PKI 50 tahun yang lalu tetaplah sama sampai sekarang, penuh dengan penyangkalan, ironi, kebohongan, dan ketidakkonsistenan. Bagi mereka yang merasa tak enak: saya hanya mematuhi instruksi. Bagi yang berani mengaku terang-terangan: saya pahlawan; karena ini bela negara, karena ini perjuangan rakyat, karena komunis itu tak bertuhan dan layak mati. Bahkan tentara juga tahu lebih baik. Di sebuah sesi wawancara di pinggir Sungai Ular, baik Amir Hasan maupun Inong, dua pemimpin jagal di kampung, berkata sambil menunjuk ke suatu arah, “tentara cuma di sana, nggak pernah ke sini.” Di pinggir Sungai Ular, tempat di mana kakak Adi juga dibantai dengan tidak manusiawi, Hasan dan Inong mengakui, “mereka (para tentara) jaga diri, soalnya internasional marah.” Dengan meng-outsource-kan tugas pembantaian ke tangan Komando Aksi, mereka bisa cuci tangan dari semuanya. Mereka sama-sama membebaskan diri sendiri dari gugatan atas kekejaman itu dengan menunjuk hal yang lebih besar dari dirinya sendiri: negara, rakyat, atau Tuhan.
Narasi yang seperti ini berlanjut dari generasi ke generasi. Anak lelaki Adi Rukun meringis di dalam kelas ketika gurunya berkisah tentang PKI. Dengan bersahut-sahutan seperti paduan suara, anak-anak diajarkan untuk membenci komunis. “Komunis itu kejam, semacam tidak memiliki Tu… Tuhan.” Bocah-bocah ini ditakuti dengan cerita bahwa komunis menculik dan menyayat muka para anggota Dewan Jenderal pakai pisau, bahkan mencongkel matanya. “Kamu gimana rasanya kalau disayat mukanya pakai pisau Inggris? Kamu mau dicongkel matanya?”
Jika PKI digambarkan mengerikan, maka tanggapan pemerintah dalam narasi si guru ini lebih “manusiawi”. Kata si guru, PKI “dipenjarakan, tidak boleh menjabat di pemerintahan. Semua ini demi demokrasi.” Luput dari narasinya bahwa mereka yang menumpas PKI juga melakukan hal-hal yang keji.
“Mereka kita giring, tangan terikat, seperti ini. Kita seret mereka kakinya! Sebelumnya kita pukul-pukul dulu agar tidak lari. Meraung-raung, nangis, teriak, ‘Ampun, ampun, jangan dibunuh, Pak!’, kita pukul lagi supaya diam!”
“Kamu tahu suara orang dipenggal? Grrookk, grrook, grrookk!”
“Kita tikam berkali-kali, kita tendang ke sungai. Belum mati. Mereka teriak, ‘tolong, toloong, tolooong!’”
“Kita belah selangkangannya, seperti ini. Nah. Terus kita potong kemaluannya.”
Lewat rekaman kamera Joshua, para pembantai ini dengan bangga mengakui bahwa mereka dulu memukuli tertuduh PKI sampai hampir mati. Mereka menyayat kemaluannya, memenggal kepalanya, menenteng kepala seorang wanita ke kedai kopi Cina (tidak ada alasan), bahkan mereka meminum darahnya (yang ini alasannya agar tidak gila). Sambil tertawa, Amir Hasan dan Inong bercerita dengan pongah bahwa darah yang keluar dari payudara tertuduh Gerwani rasanya seperti santan. Apa yang waras dari meminum darah manusia? Apanya yang relijius dari meminum darah manusia? (Bukankah malah mirip vampir?)
Saya ingat cerita-cerita tentang Gerwani yang melakukan pesta seks setelah membunuh Dewan Jenderal. Atau seperti tuduhan Inong di mana anggota PKI saling berbagi istri. Atau kekejian anggota PKI saat membantai para santri di Madiun. Katakanlah semua ini benar, tidak ada penjelasan mengapa anggota PKI atau organisasi-organisasi di bawahnya lantas didegradasi menjadi subhumans (lebih rendah dari manusia), karena ironisnya, mereka yang membantai PKI pun juga melakukan kekejaman yang sama – mungkin lebih kejam dan dalam jumlah yang pastinya lebih banyak malah. Ironi-ironi yang luput dari otak para pelaku pembantaian ini yang sejujurnya membuat saya bergidik. Sudah kemanusiaan mati, akal sehat mati pula.
Dan seperti larangan gugon tuhon berbau takhayul a la ibu-ibu kita dulu, anak-anak SD ini dibikin ketakutan dan lantas mengamini apapun pernyataan gurunya. Saya ingat, waktu masih bocah dulu, film dokudrama karya Arifin C. Noer, “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” selalu diputar di televisi tiap malam 30 September. Di tahun 1984 pemerintah Orde Baru lewat kurikulum dan para guru mewajibkan anak-anak sekolah untuk menonton film ini demi kelancaran propaganda. Bersama film-film sejarah yang disponsori negara, antara lain “Operasi X” karya M. Yusa Biran (1968) dan ” Penumpasan Sisa-sisa PKI Blitar Selatan” (1987), film menjadi alat historical lobotomy yang melubangi sejarah di ingatan anak-anak yang lahir setelah peristiwa PKI. Komunis, yang dulu bisa seirama dengan agama dan nasionalisme dalam Nasakom, kini dikontraposisikan dengan agama-nasionalisme; menjadi “yang buruk” atas agama dan nasionalisme “yang baik”. Cerita horor, film propaganda, sejarah versi “resmi” dari pemerintah di buku-buku pelajaran, adalah anasir-anasir yang membentuk core value Indonesia di anak-anak ini untuk secara refleksif membenci komunisme, juga bahwa agama serta nasionalisme adalah sebaik-baiknya paham untuk dipeluk.
III.
Jerman punya satu istilah untuk menggambarkan proses untuk berurusan dengan masa lalu. Istilah vergangenheitsbewältigung, dari kata vergangenheit (masa lalu) dan bewältigung (menghadapi), pertama kali muncul pada tahun 1960. Seperti reabilitatsiya pada era Khrushchev yang ditujukan untuk “menebus dosa” Soviet di masa “pembersihan besar” Stalin (Yezhovshchina) , ia adalah upaya rehabilitasi dari masa-masa kelam Jerman setelah hancurnya Nazi. Lewat kerja sama Soviet dan Sekutu, proses reedukasi dan denazifikasi yang panjang dimulai.
Pertama-tama, tentu saja, adalah dengan mengadili penjahat perang. Soviet, Jerman Barat, Jerman Timur, dan Sekutu paham benar bahwa tak ada closure (penyelesaian) tanpa keadilan. Ratusan pejabat SS diadili dan dijatuhi hukuman di pengadilan Frankfurt, Auschwitz, dan Nurenberg. Masyarakat pun perlahan-lahan bangkit, mula-mula diawali oleh Jerman Timur. Mengutip Susan Neiman di Aeon, mereka mengekspresikan ke-antiNazi-annya secara simbolis dengan menamai ulang jalan-jalan, mengubah arsitektur kota dan rencana belajar, bahkan juga membikin lagu kebangsaan baru, Auferstanden aus Ruinen (Bangkit dari Puing-puing). Beberapa penulis dan seniman membuat gerakan denazifikasinya sendiri. Die Gruppe 47, yang beranggotakan penulis besar seperti Günter Grass, menggerakkan Nachkriegsliteratur (literatur pascaperang) untuk mengajarkan publik Jerman tentang pentingnya demokrasi setelah runtuhnya Nazi. Film, serial televisi, teater, buku, lagu, tulisan, lukisan, patung, monumen yang bersimpati terhadap korban Holocaust serta mengecam kekejaman Nazi pun bermunculan. Tak seperti di Indonesia, di mana anda bisa mengaku penjagal komunis dan kemudian dianggap pahlawan, di Jerman era sekarang, mengaku sebagai Nazi penjagal Yahudi bisa mendapat kecaman bahkan hukuman. Itulah budaya yang secara sadar ditujukan untuk introspeksi diri secara kolektif serta untuk penebusan dosa-dosa masa lalu negara.
Proses mengkonfrontasi kelamnya kejahatan para leluhur juga dilakukan – bahkan masih dilakukan – di Amerika Serikat, sebagai proses vergangenheitsbewältigung terhadap perbudakan, segregasi era Jim Crow, dan Ku Klux Klan. Aksi afirmatif (kuota untuk pekerja dan pelajar kulit hitam) dibuat sebagai upaya reparasi atas diskriminasi masa lalu. Pernikahan antar ras (meskipun begitu terlambat, baru diadopsi oleh seluruh negara bagian pada tahun 1967) adalah rekonsiliasi menuju kesetaraan, di mana kulit hitam sempat dicap sebagai subhumans oleh kulit putih. Bahkan, program gagal seperti 40 acres and a mule (reformasi agraria pascaperang sipil) mempunyai niat baik di belakangnya.
Sama seperti Jerman, masa lalu tak cuma dikonfrontasi secara legal dan rasional oleh pemerintah, namun masyarakatnya secara kolektif ikut serta mengkonfrontasinya secara emosional lewat karya-karya seni. Dengan susah payah Amerika Serikat berdamai dengan masa lalunya. Begitu mengakarnya rasisme di sana, hingga di masa-masa sekarang saja masih ditemui kasus seperti penembakan Trayvon Martin dan Michael Brown. Namun, di sisi lain, banyak kaum Afrika-Amerika yang berhasil menjadi CEO, menteri, jaksa agung, bahkan ada yang akhirnya dua kali terpilih sebagai presiden. Di sini, nasib eks tahanan politik PKI hari ini tak lebih baik dari 30-40 tahun yang lalu.
IV.
Dalam “Senyap”, Joshua sudah tak malu-malu lagi menuduh Amerika Serikat lewat bahasa simbol. Bersama Adi Rukun, kita dibuat melihat cuplikan berita NBC tahun 1967 tentang Bali. Bersama penduduk lokal, si bule berkomentar tentang betapa indahnya Bali, yang tak lagi cantik karena ada komunis. “Sekarang ia lebih indah tanpa komunis,” katanya sambil meromantisasi pembantaian itu. Si penduduk lokal juga mengamini, bahkan berteori bahwa para komunis itu sendiri yang minta untuk dibunuh. “Indonesia ini menakjubkan, punya potensi kekayaan besar.” Lalu dijuktaposisikan dengan perkebunan karet milik pabrik ban Goodyear, yang menggunakan tahanan komunis ini sebagai tenaga kerja. Para tahanan ini “direhabilitasi” dengan berbagai cara. “Dibuat kelaparan. Lalu secara berkala dilepas,” ungkapnya santai.
Amir Siahaan – pimpinan Komando Aksi yang ikut membantai 500-600 komunis dalam 3 bulan, siang dan malam – terang-terangan menuntut Amerika Serikat agar mengajak “pahlawan-pahlawan” ini bertamasya ke sana. Tentu saja sebagai balas budi. “Tak usah naik pesawat, naik kapal pun tak apa,” begitu kelakarnya. Amerika mengajarkan mereka membenci komunis, dan dengan menumpas PKI, maka mereka berjasa kepada Amerika, begitu menurutnya.
Kita tidak boleh lupa, ada pemusnahan lain di Papua Barat. Yang ini masih terjadi sampai sekarang. Yang ini berlangsung perlahan-lahan.
Sejak Desember 1961, bendera Bintang Kejora berkibar di sebelah bendera Belanda. Banyak yang mengira janji Belanda untuk mengembalikan pemerintahan Papua yang otonom dan berdaulat kepada penduduk asli akan segera menjadi kenyataan. Namun kita tahu apa yang terjadi selanjutnya, Papua Barat menjadi “milik” Indonesia.
Lagi-lagi, ada Amerika Serikat dan pihak asing di sana. Lewat arsip kabel rahasia yang dirilis National Security Archive, Universitas George Washington, kita tahu keterlibatan Henry Kissinger dan Presiden Nixon dalam aneksasi Papua Barat yang dilakukan Suharto pada tahun 1969. Koran Inggris Guardian menulis bahwa pada tahun 1969, 1.026 warga Papua Barat ditodong dengan senjata untuk memilih bergabung dengan Indonesia pada Pepera. Setidaknya sudah ada 100.000 warga Papua Barat yang dibunuh menurut Amnesty International, dengan persenjataan yang disuplai oleh Amerika Serikat dan Inggris.
Jika dulu Goodyear mendapat keuntungan, maka sekarang Freeport McMoRan mendapat hak untuk menyedot habis-habisan kekayaan alam di Papua Barat. Sudah seperti itu, masih didesak pula secara ekonomis oleh para transmigran dari Pulau Jawa. Jika dulu komunis dicap tak bertuhan, maka rakyat Papua Barat dianggap primitif atau tak beradab. Jika dulu yang dibunuh Njoto dan Lukman, maka kali ini yang dibunuh adalah Munir dan Theys Hiyo Eluay. Akses wartawan dibatasi di Papua Barat, seperti akses kita tentang sejarah 1965 yang dibatasi. Rupanya sejarah terulang lagi, meski kali ini korbannya berbeda. Dan seperti yang sudah-sudah, justifikasi berwujud “NKRI Harga Mati” selalu digaungkan. Sementara itu, “kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” menjadi lindap dalam senyap.
Maka makin benarlah adagium dari salah satu sejarahwan terbesar Romawi, Tacitus: mereka menjarah, mereka membantai, mereka mencuri, ini secara palsu mereka beri nama: Kerajaan. Dan di mana mereka membuat gurun, mereka menamainya Kedamaian.
V.
Sejarahwan John Roosa, dalam Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement & Suharto’s Coup d’état in Indonesia, menulis, “rezim ini tidak bisa membiarkan komunisme mati karena ia ditentukan dalam hubungan dialektikalnya dengan komunisme, atau lebih tepatnya, dengan simulakranya.” Komunis, seperti hantu-hantu dalam novel Eka Kurniawan, “Cantik Itu Luka”, adalah necessary evil yang diimajinasikan negara, sebuah musuh bersama untuk menjaga keteraturan dan kekompakan aparatnya. Ia adalah mantra untuk membuat negara ini selalu dalam keadaan siaga. Ia adalah setan-setan candikala yang siap menerkam saat matahari terbenam, yang dipakai ibu-ibu sebagai peringatan agar anaknya menurut. Narasi tentang komunisme sampai sekarang tetap dibangun dalam sebuah mistifikasi, bahwa “kiri-kiri” yang sekarang ini masih terlelap bisa menyergap kapan saja dan membawa negara ini dalam “kekacauan” masa lalu. Dus, komunisme laten menjadi sesuatu yang ditakuti masyarakat. M. Y. Basrun, mantan Sekretaris Umum Komando Aksi yang sekarang menjadi Wakil Ketua DPRD Serdang Berdagai, seakan menasehati Adi Rukun, “jika kamu masih mengungkit-ungkit ini (komunisme), cepat atau lambat ini akan terjadi lagi.”
Beberapa bulan lalu, diskusi buku tentang Tan Malaka dibubarkan. Beberapa hari lalu, pemutaran “Senyap” di Malang dan Yogyakarta dihentikan oleh oknum militer dan oknum dari kalangan agamawan. Rasa takut (atau jijik) pada komunisme masih begitu besar, sehingga membicarakannya saja tabu atau bisa membahayakan jiwa. Tidak heran jika si Mak mewanti-wanti Adi Rukun untuk membawa pisau lipat dan untuk menolak pemberian makanan/minuman dari siapapun. Kita bisa dibunuh. Kita bisa diracun. Inilah, yang dalam istilah Ariel Heryanto, merupakan sebuah terorisme kultural. Tanpa teror kultural, aksi kekejian yang dibilang heroik, sejarah yang didistorsi, dan hal-hal lain yang diberangus ini, mustahil bagi Orde Baru untuk menancapkan kekuasaan 32 tahun lamanya. Bahkan untuk ekses-eksesnya masih hidup sampai sekarang.
Setelah “Senyap”, tentu kita semua berharap agar kebenaran dan keadilan ditegakkan. Namun, apa yang bisa diharapkan dari sebuah negara yang masih dengan bangga memamerkan patriotisme yang dibangun di atas pembantaian massal dan eksploitasi?
TAP MPRS XXV/1966 masih berlaku, dan bahkan Gus Dur sebagai presiden saja tak kuasa mencabutnya. Seorang menteri baru saja berkomentar agar negara ini “jangan mundur lagi ke belakang, negara ini makmur ke depan, bukan hanya mencari salahnya di sana sini” saat seorang terpidana pembunuhan aktivis HAM dinyatakan bebas bersyarat. Beberapa anak SMA tewas ditembak oleh militer. Seorang Wakil Presiden baru saja menyamakan tewasnya tentara dengan tewasnya warga sipil non kombatan di tangan militer/polisi. Seorang presiden yang dipilih karena janjinya terhadap penegakan HAM malah membuat komando militer di tanah Papua. Anda bisa melihat sendiri seperti apa negara ini sebenarnya. Keadilan dan kebenaran bagi korban-korban kejahatan HAM masih akan tetap menjadi utopia di negeri ini, meskipun rezim Orde Baru telah lama mati.
Berharap Amerika Serikat meminta maaf seperti Jerman meminta maaf pada korban-korban masa lalunya? Amerika Serikat tidak pernah meminta maaf atas Pinochet, Batista, Mubarak, keluarga Somoza, Irak, dan Afghanistan.
Mengatakan kebenaran di tengah-tengah negeri yang gemar berbohong akan selalu menjadi pengalaman yang emosional, dan bahkan traumatis. Jika yang personal saja susah berkata jujur, bagaimana dengan sebuah negara? Negara ini harus menjadi malu terlebih dahulu. Jerman kehilangan cita-cita besarnya, malu, lalu menjadi dewasa. Inggris kehilangan kejayaan armadanya, malu, lalu menjadi dewasa. Jepang kehilangan cahaya mataharinya, malu, lalu menjadi dewasa. Ini mengapa vergangenheitsbewältigung menjadi begitu sukar dilakukan di Amerika Serikat, karena ia masih besar kepala dengan American exceptionalism-nya itu.
Dengan absennya komisi kebenaran dan rekonsiliasi, maupun pengadilan HAM, maka seni bisa mengambil alih tugas untuk menantang versi resmi sejarah bikinan negara dan mempermalukannya. Lewat seni, apapun medianya (seperti film “Senyap”), kesaksian dan ingatan personal atas penderitaan yang telah terjadi bisa disuarakan. Ketika politik mulai mengutak-atik ingatan, maka memori personal ini bisa menjadi alat bagi masyarakat untuk berdamai dengan masa lalunya sendiri. Lihat bagaimana anak perempuan seorang jagal meminta maaf kepada Adi Rukun atas kejahatan dan kesadisan ayahnya dulu. Ingatan mampu menjadi sarana penebusan dosa dan jalan menuju pertanggungjawaban moral.
Maka setelah “Senyap”, yang bisa kita lakukan adalah menjadi seperti Adi Rukun. Tidak perlu gerakan yang bombastis, cukuplah menjadi pemberi kontranarasi pada masyarakat. Ketika kematian direduksi menjadi statistik, tragedi kemanusiaan dibalut dengan eufemisme, dan negara masih berlindung pada sejarah yang dipuntir, maka kita lah yang sedikit demi sedikit memecahkan tabir disinformasi ini. Meluruskan 50 tahun sejarah bukan pekerjaan yang mudah. Tentu ada penyangkalan, ada luka-luka lama yang menolak dibuka, seperti anak-anak dan istri Amir Hasan yang menyangkal kekejaman ayah dan suaminya dulu.
Seperti Adi Rukun juga, kelak kita harus mendidik anak-anak kita agar tidak menelan mentah-mentah apa yang dikatakan negara lewat guru-guru dan sekolahan –untuk berpikir kritis dan berani, untuk welas asih dan tidak cepat menghakimi. Merekalah yang kelak bisa menjadi generasi yang menjungkalkan status quo, dan bukan tidak mungkin, membawa vergangenheitsbewältigung di negeri ini. Ini jalan yang begitu panjang, karena lihatlah, di hari-hari ini masih ada ribuan, mungkin puluhan ribu orang yang percaya bahwa presiden kita adalah komunis.
Namun apakah benar kita bisa berharap pada diri kita sendiri untuk menjadi Adi Rukun-Adi Rukun selanjutnya? Kita tidak tahu. Kita pun tidak pernah tahu apakah kita sebenarnya menonton “Senyap” (dan merasa sedih setelahnya) karena itu adalah sebuah hal yang trendi. Kita tidak pernah tahu apakah aktivisme-aktivisme lewat tagar dan petisi daring akan ada dan konsisten terus-menerus, atau akankah ia tenggelam begitu saja dalam lautan berisi jutaan, bahkan miliaran tweet dan status?
Jika anak-anak muda ini bisa menggerakkan orang untuk memilih seorang pengusaha furnitur menjadi presiden (yang katanya) “pilihan rakyat”, maka rasanya tidak terlalu naif untuk berharap.
Bagaimanapun pesimisnya kita terhadap anak-anak muda yang –meskipun melek internet –bebal dan memiliki attention span yang pendek ini (termasuk saya), akan selalu muncul mereka-mereka yang akan menggantikan Munir, Adi Rukun, ibu-ibu Kamisan, yang akan lantang menyuarakan keadilan setiap harinya. Akan ada mereka yang berjuang bersama petani-petani yang tergusur, warga yang terenggut tanahnya, kaum minoritas yang tak bisa menikah atau beribadah, anak-anak dan wanita yang teraniaya.
Karena masih akan ada mereka yang benar-benar peduli.